News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Alasan Ketua DPD RI LaNyalla Ungkap 13 November 1998 Jadi Hari Matinya Nilai Pancasila

Editor: Content Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti saat memberikan Opening Speech di Pelantikan dan Seminar Nasional DPN PERMAHI Periode 2022-2024, Minggu (16/1/2022).

"UUD 1945 asli sekitar 1.500 kata, dilakukan amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata, yang secara substansi juga berbeda dengan aslinya. Artinya, terjadi perubahan besar-besaran dan tidak dilakukan dengan cara adendum," beber LaNyalla.

Hasilnya, sejak saat itu partai politik menjadi penentu tunggal arah perjalanan bangsa ini. Partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara untuk tunduk dan patuh.

"Sebaliknya, DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan tidak memiliki ruang dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini," ulasnya.

Faktanya, sejak amandemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik tanpa second opinion dan tanpa reserve.

"Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen," urai LaNyalla.

Dikatakannya, produk hukum, apapun itu, termasuk konstitusi atau Undang-Undang, sesuai sifatnya, “Lex Semper Dabit Remedium”, artinya bahwa hukum harus selalu memberi obat. Bukan sebaliknya, memberi penyakit atau persoalan.

"Kita semua tahu, ada beberapa Undang-Undang yang lahir atas pesanan sponsor. Apakah sponsor pemberi pinjaman dari luar negeri atau sponsor oligarki yang menguasai kekayaan sumber daya alam," ungkap LaNyalla.

Menurutnya, kita juga sering mendengar kritik keras tersebut dari para akademisi dan pengamat. Tetapi tetap saja Undang-Undang tersebut lahir, meskipun ada yang berujung dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak sedikit yang terus berlaku. 

Bahkan, ada juga yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai open legal policy. Artinya tetap sah, karena merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang.

Singkatnya, hal ini menunjukkan kepada kita adanya kepentingan kelompok tertentu yang diakomodasi oleh pembentuk Undang-Undang.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini