Pertama, sistem ekonomi untuk memperkaya negara dan rakyatnya. Atau, kedua, sistem ekonomi untuk memperkaya oligarki pengusaha yang juga penguasa.
Kedua opsi ini tinggal dipilih oleh bangsa Indonesia.
Oligarki yang diperkaya memang akan bisa membiayai Pilpres dan menjadikan seseorang sebagai presiden. Tetapi setelah itu, semua kebijakan negara harus menguntungkan dan berpihak kepada mereka.
Pilihan kedua itulah yang terjadi di Indonesia, terutama sejak Amandemen Konstitusi 2002 yang menghasilkan sistem Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung. Sehingga lahirlah bandar-bandar atau cukong pemberi biaya Pilpres dan Pilkada.
Akibatnya, sumber daya alam negara ini kita berikan kepada mereka dengan skema hak Kelola Tambang dan hak Konsesi Lahan. Negara hanya mendapat uang Royalti dan Bea Pajak Ekspor ketika mereka menjual mineral dan hasil bumi kita ke luar negeri.
Menurut catatan Saudara Salamudin Daeng, pemerhati masalah energi, disebutkan bahwa hasil produksi Batubara nasional mencapai 610 juta ton atau senilai 158,6 miliar dolar atau dalam rupiah menjadi 2.299 triliun rupiah. Jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa membayar seluruh utangnya hanya dalam tempo tujuh tahun lunas.
Produksi Sawit sebanyak 47 juta ton atau senilai 950 triliun rupiah, maka jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa gratiskan biaya Pendidikan dan memberi gaji Guru Hononer yang layak. Mungkin masih ada sisa dana untuk gratiskan minyak goreng untuk masyarakat kurang mampu.
Itu baru dari dua komoditi, Batubara dan Sawit. Bagaimana yang lain. Coba kita lihat datanya.
Masih menurut catatan Salamudin Daeng, Indonesia merupakan produsen Tembaga ke-9 terbesar di dunia. Urutan pertama produsen Nikel terbesar di dunia. Urutan ke-13 produsen Bauksit di dunia. Urutan ke-2 produksi Timah di dunia. Urutan ke-6 produksi Emas di dunia. Urutan ke-16 produksi Perak di dunia. Urutan ke-11 produksi Gas Alam di dunia. Urutan ke-4 produsen Batubara di dunia. Urutan pertama dan terbesar di dunia untuk produksi CPO Sawit. Urutan ke-8 penghasil kertas di dunia. Urutan ke-22 penghasil minyak di dunia. Urutan ke-2 produsen kayu di dunia, dan lain sebagainya.
Dan Indonesia masih memiliki cadangan besar yang meliputi Gas Alam, Batubara, Tembaga, Emas, Timah, Bauksit, Nikel, Timber, dan Minyak, serta kekayaan hayati dan biodiversitas yang besar.
Tapi coba kita lihat berapa Dana yang masuk ke Negara dari Royalti dan Bea Ekspor dari Sektor Mineral dan Batubara. Dari tahun 2014 hingga 2020, berdasarkan data di Kementerian ESDM, Dana yang masuk dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor Minerba, setiap tahunnya tidak pernah mencapai 50 Triliun Rupiah. Kecuali di tahun 2021 kemarin, dimana harga Batubara dan sejumlah komoditi Mineral mengalami kenaikan drastis, sehingga tembus 75 Triliun Rupiah.
Itu adalah angka yang disumbang dari sumber daya alam Mineral dan Batubara. Artinya sudah termasuk Emas, Perak, Nikel, Tembaga dan lain-lain. Padahal hasil produksi Batubara nasional saja mencapai 2.299 triliun rupiah.
Jadi kembali kepada kita. Mau memilih sistem ekonomi yang memperkaya negara atau memperkaya oligarki. Tinggal kita putuskan. Tidak ada yang tidak bisa. Kedaulatan negara adalah mutlak dalam mengatur dan mengelola suatu negara yang merdeka.
Karena kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi negara untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingannya, selama tidak melanggar kedaulatan negara lain.
Dan karena itu, dalam hukum internasional kedaulatan memiliki tiga aspek, yaitu;
Yang pertama, kedaulatan yang bersifat eksternal, yaitu hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan dengan negara lain atau kelompok lain, tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
Yang kedua, kedaulatan yang bersifat internal, yaitu hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga, cara kerja dan hak membuat aturan dalam menjalankan.