Sementara Ichsanoodin Noorsy membuka paparannya dengan menyinggung soal demokrasi korporasi, dimana korporasi yang menentukan keputusan di negara ini. Menurutnya, hal itulah yang terjadi pada Indonesia saat ini.
"Disebut demokrasi korporasi karena demokrasi bergerak setelah ada uang. Semua keputusan, ditentukan oleh kekuatan korporasi. Lalu kita lihat bagaimana begitu tingginya biaya politik demokrasi liberal yaitu pemilihan langsung. Sementara sistem ekonomi, Pasal 33 dijegal dengan adanya ayat 4. Itu yang membuat semua rusak," katanya.
Karena keseluruhan adalah demokrasi korporasi, makanya reformasi yang dilakukan adalah semu. Karenanya, menurut Noorsy sangat tepat untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli, untuk kemudian kita perkuat dengan beberapa adendum, supaya tujuan nasional tercapai.
Soal pengisian utusan golongan di MPR, dikatakan Noorsy, posisinya sangat strategis dan perlu. Dalam kesempatan itu, dia menjelaskan, berbicara golongan sama saja dengan berbicara soal identitas. Makanya dia menekankan agar tidak boleh menolak adanya politik identitas.
"Karena wajar-wajar saja. Itu kodrat manusia, jadi tidak perlu dijargonkan," ucapnya.
Sedangkan, secara teknis siapa saja unsur utusan golongan yang bisa menjadi anggota MPR, Ichsanuddin Noorsy menyampaikan ada beberapa indikator.
"Ada indikator umum, misalnya nama golongan, usia organisasi, keberadaan, legalitas, AD dan ART dan lainnya. Lalu ada indikator khusus, seperti rapat tahunan dari organisasi, sumber pendanaan, syarat anggota dan lainnya. Kemudian syarat lain, misalnya prestasi dari organisasi, nilai manfaatnya apa bagi masyarakat, ada atau tidak produknya dan lain-lain," papar dia.
Kemudian utusan golongan yang bisa mengisi MPR juga bisa diambil dengan cara klasterisasi. Yakni dari klaster agama, profesi, jenis kelamin, hobby, Pekerja atau buruh dan lainnya.
"Bahkan bisa juga YouTuber atau yang berpengaruh di media sosial, bisa dia menjadi utusan golongan," tukasnya.
Sedangkan Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr Mulyadi menyebut dirinya bangga melihat konstitusi yang lama dan literatur klasik yang ada, sebab bangsa ini mampu berpikir atau menetaskan adanya MPR yang menjelmakan kedaulatan rakyat.
"Kita harus bangga pada para pendiri bangsa karena membuat MPR sebagai saluran untuk menyuarakan kepentingan rakyat yang terpisah-pisah ini. Sehingga demokrasi bangsa ini utuh, semua terwakili," kata dia.
Berbicara tentang utusan daerah yang bisa mengisi MPR, Mulyadi menegaskan dirinya setuju Raja dan Sultan Nusantara adalah sosok yang tepat. Karena sebelum Indonesia merdeka, yang berkuasa dan mempunyai wilayah adalah Kerajaan dan Kesultanan Nusantara. Mereka pulalah yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.
"Kerajaan dan Kesultanan Nusantara ini atau bangsa-bangsa lama inilah yang membentuk negara baru yang bernama Indonesia," tutur Mulyadi.
Tetapi negara menjadi rusak, katanya, oleh aktor politik kontemporer di Indonesia alias rezim politik yang non demokratis. Yaitu oligarki ekonomi, oligarki politik dan oligarki sosial.
"Makanya seharusnya bangsa ini memberikan penghargaan dan penghormatan tinggi kepada bangsa lama tersebut, dengan mendudukkan mereka sebagai utusan daerah di dalam MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara," tukasnya. (*)