Selama berbincang, Dani justru lebih banyak berkisah tentang masa mudanya.
"Saya dulu pernah ditawarin jadi Camat sama senior saya. Senior saya di APDN dulu wakil bupati Way Kanan di Lampung. Saya gak mau, saya pilih jadi Satpol PP saja," katanya.
Pria dua anak ini juga nyaris tak mengeluh soal mengapa ia akhirnya terpisah dari rombongan. Dani lebih pusing karena kehabisan rokok.
"Saya ini tak bawa apa-apa. Ini rokok tinggal dua bungkus, itu juga dikasih orang," katanya.
Segera setelah kopi dan rokoknya habis, beberapa anggota Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), termasuk jurnalis dari Media Center Haji, memintanya masuk mobil untuk berangkat umrah wajib ke Masjidil Haram.
"Sudah siap. Pokoknya sudah kopi, sudah rokok. Sarapan juga tadi sudah dikasih petugas (PPIH)," jawabnya.
Di mobil, ponsel jadulnya tak berhenti berdering. Telepon dari kerabat di Lampung bergantian masuk.
Dani memang baru bisa terhubung dengan keluarga karena ponselnya habis baterai.
Untungnya, di kantor Daerah Kerja Makkah ia dibantu oleh petugas untuk mengisi ulang daya.
"Ah tidak apa-apa aku. Ini sudah diantar sama jurnalis. Mau ke Ka'bah. Masuk tivi nanti aku," ujarnya menjawab pertanyaan anaknya di ujung telepon.
Setengah jam berlalu, mobil yang membawa Dani tiba di terminal Ajyad, Makkah. Setapak turun dari mobil, Dani langsung melempar pertanyaan. "Mana Ka'bahnya?" ujarnya.
Rasa penasaran Dani membuat langkahnya menuju Masjidil Haram menjadi ringan.
Padahal, jarak dari terminal menuju ke Masjidil Haram lebih dari 500 meter.
Belum lagi, suhu di Makkah sedang tinggi-tingginya, 41 derajat celcius. Sepanjang perjalanan ke Ka'bah, ia bercerita tentang keinginannya berhaji. Dani mengaku sudah menantikan momen ini selama 12 tahun.