TRIBUNNEWS.COM, GAZA CITY - Gaza City dan kota-kota lain di Jalur Gaza kembali ke kehidupan normal. Kendaraan lalu-lalang dan pasar dipadati pengunjung.
"Kami menjadi terbiasa menghadapi perang dan menyambut perdamaian," ujar Sameh, seorang analis politik terkemuka di Gaza, kepada Times of Israel.
Namun, masih menurut Sameh, segalanya belum berakhir. Hamas kini menghadapi tekanan hebat dari pendukungnya. Mereka yang kehilangan segalanya akibat pemboman 28 hari, termasuk kehilangan beberapa anggota keluarga, ingin Hamas melanjutkan perang.
"Terlebih jika Israel dan Mesir tidak mencabut blokade," kata Sameh.
Lainnya, terutama mereka yang masih memiliki banyak keluarga dan harga, lebih suka perang berhenti dan kembali ke kehidupan normal.
Menurut Sameh, tidak satu pun prajurit Hamas meninggalkan bunker. Beberapa komandan Hamas juga mengatakan mereka sedang berada di atas panggung, bukan di ujung pertempuran.
"Mereka tidak bisa berhenti sekarang tanpa mencapai tujuan signifikan di Kairo," kata Sameh.
Sameh yakin Hamas sedang mempersiapkan strategi baru menghadapi invasi darat Israel. Penghancuran terowongan, yang mencegah Hamas masuk ke wilayah Israel dan menyerang dari belakang, tidak akan menghentikan Hamas.
"Jika tidak bisa melewati Rafah untuk ke pelabuhan, Hamas akan menembakan roket lagi. Lalu kita akan melihat perang lebih sengit lagi," lanjut Sameh.
Analis lain mengatakan Gaza tidak ubahnya prajurit yang terluka parah, tapi terus berusaha menyerang. "Kini, pertempuran terhenti. Gaza akan menjerit kesakitan," ujar analis itu.
Berbeda dengan Sameh, analis yang satu ini ragu Gaza bisa melanjutkan pertempuran.
Di luar perbincangan soal perang dan pencabutan blokade, warga Gaza kini hidup dengan segala keterbatasan. Bassem, salah satunya, tidak menemukan apa-apa kecuali puing rumahnya di Shejaiya.
"Tidak ada yang terlihat kecuali puing," ujar Bassem.
Ia menyewa apartemen kecil di Gaza City, bersama 45 warga lainnya. Mereka hidup tanpa listri dan toilet.
Namun Bassem relatif beruntung masih bisa menyewa apartemen. Imad, temannya, kini menampung 50 temannya di distrik Sheikh Radwan, Gaza City.
"Setiap orang harus saling membantu," ujarnya.
Ketika ditanya siapa yang akan kembali membangun rumah-rumah penduduk, Imad hanya bisa menggeleng. Jika ada harapan, mungkin hanya dari masyarakat internasional.