TRIBUNNEWS.COM, BRISBANE - Organisasi transgender di Brisbane (Australia) mengatakan tingkat kematian transgender, yang disebabkan kekerasan, telah mencapai 1.509 kasus.
Jumlah ini terhitung sejak enam tahun. Menjadi bukti, kaum transgender masih rentan jadi korban akibat kekerasan.
Menurut Cory Alexander dari Komunitas Transgender Brisbane , kaum transgender yang memiliki kulit 'berwarna' bahkan lebih beresiko jadi korban kekerasan.
Menurutnya, sepanjang tahun 2014 saja tercatat ada 62 transgender yang meninggal karena kasus kekerasan.
"Sebuah studi terbaru di Australia menunjukkan bahwa 69 persen kaum transgender setidaknya pernah mengalami kekerasan sekali seumur hidup," ujar Cory.
Menurutnya masalah dari kekerasan ini adalah masih tidak diakuinya identitas seksual kaum transgender.
"Misalnya sejak kita hidup, jenis kelamin yang ada hanya pria dan wanita, lantas kita masuk kategori mana? Dari sinilah kekerasan akibat gender dimulai," ujar Corey kepada Erwin Renaldi dari ABC International.
"Tragisnya, kaum transgender yang memiliki kulit berwarna [bukan putih] lebih rentan dibandingkan pria yang menjadi wanita."
Menurut Corey, ditemukan juga beberapa kasus dimana transgender dengan kulit berwarna yang mendapat perlakukan berbeda, baik di tempat kerja ataupun untuk mendapatkan fasilitas kesehatan.
Sementara itu, masalah kekerasan juga rentan terjadi bagi kaum transgender yang memiliki profesi sebagai pekerja seks komersil (PSK).
"Bagi kebanyakan, menjadi PSK adalah pilihan dan menjadi karir, dan perlu diingat ini adalah karena keterbatasan kesempatan untuk belajar dan bekerja untuk kaum transgender, terutama mereka yang memiliki kulit berwarna," tegas Corey.
Warga Menolak Shalatkan Jenazah Mayang Prasetyo
Sementara itu, dalam sebuah jumpa pers, ibu dari Mayang Prasetyo mengaku jika warga sekitar rumahnya menolak menshalatkan jasad Mayang, setelah tiba di Indonesia.
Mayang Prasetyo meninggal, diduga menjadi korban kekerasan dari pasangannya sendiri, Marcus Volke, yang dilakukan di apartemennya sendiri di Brisbane.
"Beberapa hari lalu, RT setempat datang ke rumah. Mereka katakan kepada saya, masjid sekitar rumah enggan menyolatkan anak saya. Saya sendiri tidak tahu alasannya," ujar Nining, di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, hari Rabu (15/10), seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Kompas melaporkan, kuasa hukum Nining, Wahrul Fauzi Silalahi mengatakan negara harus adil memperlakukan hak dan kewajiban semua warganya.
"Kami mengecam aparat pemerintah dan membatasi peribadatan seseorang, apalagi Mayang adalah korban pembunuhan," ujar Fauzi.