TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Seminggu menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh, seorang anak korban tsunami dibawa pulang dari Malaysia setelah sempat dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di negeri jiran itu. Dia diduga menjadi korban trafficking.
Setelah mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, anak itu mengisahkan pengalaman hidupnya selama 10 tahun terakhir. Saat itu dia didampingi Kepala Dinas Sosial Aceh, Bukhari.
Menurut dia, seminggu setelah tsunami, seorang tukang mencuci pakaian bernama Sabariah membawanya dari Banda Aceh ke Medan, Sumatera Utara. Di sana dia tinggal bersama Sabariah selama tujuh tahun, sampai akhirnya perempuan itu meninggal dunia karena penyakit kanker dan ginjal.
Sehari sebelum mengembuskan nafas terakhir, Sabariah bercerita bahwa anak itu ialah anak korban tsunami. “Hari itu, saya sempat tanya siapa orang tua saya. Terus dia hanya bilang, saya anak korban tsunami. Setelah itu, besoknya dia meninggal dunia,” ujar sang anak kepada kontributor BBC Indonesia di Aceh.
Sehari setelah penguburan Sabariah, sang anak disuruh keluar oleh keluarga perempuan itu. Sejak itu, dia jadi anak jalanan di Medan, sambil sesekali bekerja di warung internet. “Ada keinginan untuk pulang ke Aceh, tapi saya tak tahu caranya,” katanya.
Ke Malaysia
Suatu hari, anak tersebut bertemu Ida, seorang perempuan yang menawarkannya bekerja di restoran. “Saya mau bekerja di restoran Melayu, tapi saya disuruh kerja di restoran India,” katanya.
Sebulan bekerja di restoran India, Ida memilih pergi dan menyerahkan anak itu kepada Elisa, perempuan yang berprofesi sebagai pemasok tenaga kerja wanita ke Malaysia. Pada Juni 2004, Elisa yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan pemasok tenaga kerja di Malaysia membuat paspor untuk anak itu.
Dalam paspor, tanggal lahir sang anak dipalsukan. Selama di Malaysia, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Rawang, Selangor, selama satu bulan. Kemudian, agen membawanya untuk bekerja sebagai pengasuh anak di Banting, Selangor.
Akhirnya 20 November lalu, dia diselamatkan oleh Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Beberapa hari lalu, KBRI mengontak pejabat Aceh untuk menjemput Fanisa.
Kepala Dinas Sosial Aceh, Bukhari, yang menjemput Fanisa di Malaysia menyebutkan bocah merupakan korban trafficking karena diperjualbelikan.
“Di sana, dia dijual lagi oleh agen sehingga ketahuan pihak kedutaan. Kemudian, Fanisa dilindungi dan hari ini kita pulangkan,” katanya.
Panti Asuhan
Bukhari menjelaskan, Dinas Sosial Aceh memiliki data anak-anak korban tsunami yang sudah ditemukan, tetapi belum diketahui identitas orang tua mereka. Anak-anak itu ditampung di panti asuhan Dinas Sosial dan beberapa panti asuhan swasta.
Bukhari menambahkan, untuk sementara, anak itu akan ditempatkan di Panti Asuhan milik Dinas Sosial Aceh, sambil berusaha melacak keberadaan kedua orangtuanya atau keluarga bocah itu di Lhokseumawe.
“Jika ketahuan siapa orang tua anak-anak itu, kita pertemukan dengan keluarga mereka,” katanya.