TRIBUNNEWS.COM-Charlie Hebdo atau yang dalam bahasa Inggris dikatakan Charlie Weekly adalah majalah Perancis yang memuat kartun-kartun satir, laporan, polemik hingga lelucon. Media tersebut dikenal anti-agama dan sayap kiri, memuat artikel terkait kaum ekstrim kanan, Katolik, Islam, Yahudi, politik, budaya, dll.
Menurut Pemimpin Redaksi majalah tersebut, Stephane Charbonnier, majalah itu memuat sudut pandang sayap kiri dan bahkan orang-orang yang memiliki pandangan abstain.
Majalah tersebut muncul pada tahun 1969 hingga 1981 yang akhirnya sempat berhenti. Namun, pada tahun 1992 majalah tersebut bangkit kembali. Charb, panggilan Stephane Charbonnier, adalah pemred saat ini. Ia memegang majalah tersebut sejak tahun 2009 hingga akhirnya ditembak mati bersama 9 orang lainnya di media tersebut di kantor redaksi bersama 2 orang anggota polisi pada Rabu, (7/1/2015).
Majalah tersebut terbit setiap Rabu dengan edisi isu-isu yang menarik masyarakat.
Majalah tersebut pernah memuat edisi kontroversial pada 3 November 2011. Edisi ketika itu merubah nama Charlie Hebdo menjadi Sharia Hebdo dengan mencantumkan Muhammad sebagai editor tamu di dalamnya. Slogan di edisi tersebut, "100 cambukan jika kamu tidak mati tertawa".
Berbagai reaksi dari masyarakat Muslim dunia muncul atas pemuatan edisi tersebut. Namun, Charb menyatakan majalah yang dikelola dirinya bebas menyatakan apa pun.
Tahun 2007 Charlie Hebdo harus membela diri di pengadilan sehubungan dengan kartun Nabi Muhammad, yang dicetak ulang di majalah itu, dan membuat marah umat Muslim dunia.
Namun satir majalah yang antikemapanan itu amat beragam, termasuk membuat lelucon dari aspek-aspek Kristen dan Yudaisme.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Charbonnier mengatakan insiden serangan bom molotov ke kantornya pada 2011 merupakan serangan atas kebebasan dari 'ekstremis idiot' yang tidak mewakili komunitas Islam di Prancis. (Berbagai Sumber)