Laporan Wartawan Tribunnews.com, Samuel Febriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekitar 19 ribu website di Perancis telah dibajak oleh simpatisan kelompok teroris ISIS, sejak serangan terhadap kantor surat kabar Charlie Hebdo, 7 Januari 2015 lalu.
Menurut Kepala Pertahanan Serangan Siber Perancis, Laksamana Arnaud Coustilliere, ruang lingkup dan tingkat serangan terhadap website itu melebihi yang pernah terjadi sebelumnya.
Situs-situs yang diserang juga beragam, dari milik kelompok agama, universitas, dan website pemerintah kota.
Peretas mengubah tampilan halaman situs-situs tersebut dengan tampilan yang menyampaikan pesan-pesan pro-kelompok ISIS.
Ezanville merupakan satu dari ribuan website pemerintah kota di Perancis yang tampilan halaman mukanya telah diubah oleh peretas menjadi bendera hitam ISIS, dan pesan: "Negara Islam Tetap Inchallah. Bebaskan Palestina. Kematian Untuk Perancis. Kematian Untuk Charlie. "
Pesan itu diduga mengarah kepada surat kabar satir Perancis, Charlie Hebdo, yang baru-baru ini mencetak tiga juta eksemplar edisi terbaru yang menambilkan karikatur Nabi Muhammad, di halaman mukanya.
Coustilliere mengatakan, situs Kementerian Pertahanan Perancis juga salah satu situs yang diretas. Hal itu mengakibatkan situs untuk sementara waktu tidak dapat diakses. Meski demikian ia menganggap serangan siber itu hanyalah gangguan semata.
"Serangan-serangan ini tidak berpengaruh pada pelaksanaan operasi kami," ujarnya seperti dikutip Dailymail, Jumat (16/1/2015).
Sementara Guillaume Poupard, Direktur Umum Anssi yang merupakan Badan Keamanan Nasional Perancis, mengatakan para peretas mengincar situs yang memiliki sistem keamanan yang lemah.
"Ini bukan serangan yang sangat kompleks. Mereka mencari sasaran yang lemah," katanya.
Di hari Senin, akun media sosial Komando Sentral militer AS juga diretas oleh simpatisan ISIS. Dalam aksinya mereka mengancam anggota personel tentara AS baik dari pangkat terendah hingga jenderal bintang 4.
Mereka menyebar daftar alamat rumah personel tentara AS dalam halaman website.
Sumber di pemerintah Amerika Serikat dan Eropa meyakini bahwa 'CyberCaliphate' yang meretas akun sosial media Komando Sentral militer AS adalah Junaid Hussain (20), seorang residivis yang pernah dipenjara karena meretas buku alamat pribadi mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair. (*/Dailymail/Samuel Febrianto)