Mayat tahanan kemudian diangkut ke tempat di mana mereka dimandikan, lalu ditempatkan ke dalam peti mati. Mereka diperlakukan sesuai dengan tradisi keagamaan masing-masing.
Para eksekutor hanya menjalankan tugasnya, melaksanakan perintah berdasarkan hukum, terlepas apakah mereka percaya pada hukuman mati atau tidak.
"Saya terikat sumpah sebagai seorang prajurit. Tahanan melanggar hukum dan kami melakukan perintah. Kami hanya pelaksana. Pertanyaan apakah itu dosa atau tidak terserah Allah," katanya.
Mengingat keterlibatannya sebagai eksekutor, petugas tadi memilih tidak mengingat jalannya eksekusi. Setelah hari eksekusi, petugas menjalani tiga hari untuk mendapatkan bimbingan rohani dan bantuan psikologis.
Ada batasan seorang petugas untuk menjadi eksekutor hukuman mati. "Jika kita mengeksekusi sekali atau dua kali bukan masalah. Tapi akan menimbulkan masalah psikologis bagi petugas yang banyak melakukan eksekusi," ceritanya.
Petugas tadi mengaku ada sekira 50 orang berstatus sebagai terpidana mati. Bisa saja dirinya mendapatkan giliran sebagai eksekutor berikutnya. Tapi ia berharap tak melakukannya lagi. "Jika ada petugas lain, biarkan mereka melakukannya."
Satu hari, si petugas berharap tak mengingat momen tersebut. Ia berdoa seperti para tahanan yang dieksekusi mati. Petugas tadi mendoakan para tahanan yang dieksekusi mati meninggal dalam damai.
Kepala Korps Brimob Brigjen Robby Kaligis kepada Jakarta Post baru-baru ini mengakui tekanan psikologis yang dialami anak buahnya. "Menembak itu mudah. Tapi jauh lebih sulit untuk memastikan mereka siap mental," katanya.
Menanggapi kenangan buruk tersebut, Brigjen Robby menambahkan, "Saya tak ingin mengingat bagian itu dalam hidup saya. Kita perlu fokus untuk kehidupan hari ini dan akan datang." Di era 80 an, ketika masih berpangkat letnan, Robby pernah ditunjuk sebagai masuk sebagai regu tembak. (The Guardian/The Jakarta Post)