TRIBUNNEWS.COM - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB), Ban Ki-moon, mengutarakan penyesalan yang mendalam atas eksekusi terhadap delapan terpidana mati kasus narkoba di Nusakambangan, Jawa Tengah, Rabu (29/4/2015) lalu.
BACA: Politisi PKS Fahri Hamzah Muak dengan Ulah Sekjen PBB
Dalam pernyataan resminya, Ban mengatakan hukuman mati ‘tidak punya tempat pada abad ke-21’ dan mendesak Indonesia untuk membatalkan eksekusi kepada semua terpidana mati.
Desakan itu, menurut Ban, sejalan dengan sikap 117 negara yang menyuarakan moratorium penggunaan hukuman mati dalam Sidang Majelis Umum PBB pada Desember 2014.
“Sekretaris Jenderal mendesak semua negara yang masih menerapkan hukuman mati untuk bergabung dengan gerakan ini dan mendeklarasikan moratorium hukuman mati dan pada akhirnya menghapuskannya,” sebut pernyataan Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Di sisi lain, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan demi memerangi narkoba.
“Saya berulangkali katakan itu bukan pekerjaan yang menyenangkan tapi harus kami lakukan," tegas Prasetyo.
Soal narkoba, Slamet Pribadi, yang menjabat humas BNN, merujuk data bahwa pengguna narkoba di Indonesia mencapai 4 juta orang dari usia 10 sampai 59 tahun. Sedemikian besar korban akibat narkoba, Indonesia kini berstatus darurat narkoba, kata Slamet.
"Sungguh tidak adil apabila kita hanya berpikir soal tersangka, terpidana, atau tereksekusi sementara yang meninggal di Indonesia ada 33 [orang] dalam sehari," kata Slamet kepada BBC Indonesia.
Eksekusi terhadap delapan terpidana mati kasus narkoba mendapat kecaman dari berbagai negara.
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, menarik duta besarnya dari Jakarta.
"Australia menghormati sistem hukum Indonesia, kedaulatan Indonesia. Tapi kami mengecam keras eksekusi ini. Makanya hubungan dengan Indonesia tidak akan bisa sama lagi. Begitu proses yang terkait dengan Chan dan Sukumaran selesai, kami akan menarik duta besar kami untuk konsultasi," kata Abbott, hari Rabu (29/04).