TRIBUNNEWS.COM, SYDNEY — Ibunda dari salah seorang duo "Bali Nine" yang dieksekusi pada 29 April lalu di Nusakambangan menulis sebuah surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo terkait eksekusi mati yang dijalani putranya, Myuran Sukumaran.
Di tengah persiapan pemakaman Myuran, Raji Sukumaran mengirimkan surat terbuka yang dikirimkan ke sejumlah media tentang isi hatinya kepada Presiden Joko Widodo.
Raji membuka surat terbukanya itu dengan salam untuk Presiden Jokowi yang juga bapak dari tiga anak. Setelah itu, Raji memperkenalkan diri sebagai ibu Myuran yang dieksekusi mati pada 29 April lalu di Nusakambangan.
"Saya sangat ingin meyakini bahwa Anda akan memahami (perasaan saya), dan jika tidak, Anda bebas berbagi surat ini dengan istri Anda yang saya yakin akan memahami sebagai sesama ibu," kata Raji dalam surat yang penuh emosi itu.
Selanjutnya, Raji mengakui bahwa Myuran memang melakukan sebuah kesalahan besar, tetapi putranya itu juga sudah berulang kali meminta maaf kepada pemerintah dan rakyat Indonesia.
Selama 10 tahun mendekam dalam penjara, lanjut Raji, Myuran sudah berusaha sekuat tenaga untuk menebus kesalahannya. Raji melanjutkan, Myuran berusaha keras untuk menjadi orang baik selama dalam penjara dan menjadi teladan bagi narapidana lainnya.
Myuran bahkan membantu sesama narapidana yang mengalami masalah dengan obat terlarang dan banyak masalah lain. Myuran, ujar Raji, hanya berharap dengan banyak menolong orang lain dia bisa memberi sedikit perubahan bagi mereka saat keluar dari penjara kelak.
"Putra saya tak pernah meminta dibebaskan karena telah menjalani rehabilitasi. Dia hanya meminta agar tidak dieksekusi mati. Apakah terlalu berat bagi Anda untuk membiarkannya hidup di dalam penjara?" tanya Raji.
Masih dalam suratnya, Raji mengatakan, Myuran turut bergembira saat Presiden Joko Widodo memenangi pemilihan presiden di Indonesia.
Myuran, kata Raji, menyebut Joko Widodo adalah presiden rakyat yang mendukung pendidikan, rehabilitasi, dan upaya warga memperbaiki hidup mereka. Myuran sangat berharap Presiden Joko Widodo menghargai semua upaya yang sudah dilakukan selama mendekam di dalam penjara.
"Sebagai manusia, saya tak memahami bagaimana Anda bisa menandatangani surat kematian seseorang tanpa mempelajari situasi personal mereka?" kata Raji.
"Jika Anda tak membaca berkas yang Anda tanda tangani, bagaimana Anda bisa mengetahui orang yang dieksekusi adalah seseorang yang menderita gangguan mental, atau ayah dua anak, atau seorang tua di atas kursi roda, atau ibu muda dengan dua anak, atau yang lainnya?" kata Raji.
"Putra saya hanya berharap hidup di dalam penjara sepanjang sisa hidupnya sehingga dia masih bisa melakukan hal baik. Semua yang diinginkannya adalah kesempatan untuk melakukannya," kata Raji.
Raji lalu menggambarkan betapa hancur perasaannya dan ibunda Andrew Chan, terutama di bulan-bulan terakhir menjelang eksekusi, terutama saat menjadi santapan media ketika dipindahkan dari Bali menuju Nusakambangan.
"Saya berharap anak-anak, cucu, para keponakan Anda tak pernah berbuat kesalahan. Saya juga ingin Anda mengingat saat anak-anak Anda jatuh cinta, menikah, merencanakan masa depan. Andrew Chan juga jatuh cinta, merencanakan masa depan, dan dia dieksekusi. Bagaimana jika itu terjadi terhadap anak Anda?" ujar Raji.
Raji menambahkan, dia mendapat kabar saat Myuran diberi kesempatan memberikan kata-kata terakhirnya, salah satu yang dia lakukan adalah mendoakan Indonesia.
"Putra saya memaafkan negara Anda dan orang-orang yang mencabut nyawanya karena dia tahu Anda tak tahu apa yang Anda lakukan. Saya tak tahu apakah saya bisa memaafkan Anda. Saya hanya berharap saya masih memiliki kekuatan dan cukup kasih untuk memaafkan Anda satu hari nanti," kata Raji.
"Saat saya menutup surat ini, saya mendoakan orang-orang lain yang hidupnya kini berada di tangan Anda, khususnya mereka yang menjadi terpidana mati. Saya berdoa agar Anda memiliki keberanian untuk melihat sisi lain selain politik karena mereka memiliki keluarga yang mencintai mereka apa pun kesalahan yang mereka perbuat," kata Raji pada pengujung suratnya.(Ervan Hardoko/news.com.au)