TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia mengedepankan asas kemanusiaan dalam memfasilitasi pengungsi Rohingya.
Menurut Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kemenlu Indonesia Andy Rachmianto, utamanya pengungsi yang berstatus yatim piatu dan perempuan tanpa suami.
Sebab dua golongan itu memerlukan perhatian lebih. Pemerintah juga mengupayakan family reunifikasi, atau penyatuan keluarga untuk mengatasi hal tersebut. Karena Tercatat saat ini, dari 1800 orang pengungsi lebih banyak anak-anak dan perempuan.
"Mereka banyak yang tidak punya orang tua, ada juga yang suaminya mendahului ada di Malaysia. Ini sudah dibicarakan dengan pihak United Nation High Commisioner for Refugee untuk menjadi prioritas, reunification," kata Andy di Jakarta, Kamis (4/6/2015),
Menurutnya ini akan dilakukan berbarengan dengan proses settlement para pengungsi dalam satu tahun ke depan. Dia menilai, proses ini tidak bisa secepat kilat, karena perlu koordinasi dengan negara asal, untuk mencocokkan data pengungsi dengan keluarga masing-masing.
"Sebagai ilustrasi, sebelum ini sudah ada 700 imigran dari Myanmar, termasuk Rohingya yang sampai sekarang prosesnya masih dilakukan UNHCR untuk resettlement," kata Andy.
Untuk itu, pemerintah Indonesia berupaya membangun tempat penampungan sementara bagi para pengungsi Rohingya yang saat ini. Lokasinya di Lhoksumawe, Aceh Utara, dan Aceh Timur.
Tempat penampungan tersebut sengaja akan dibuat terpisah dari wilayah pemukiman warga. Tujuannya agar mempermudah pengawasan dan tetap menempatkan para pengungsi di tempat khusus. Mengingat ada beberapa hal yang harus tetap diawasi. Penyakit menular, misalnya. Namun juga ada faktor lainnya.
"Menurut informasi, prinsipnya tempat penampungan akan semaksimal mungkin dilokalisir dari masyarakat. Hal itu untuk memudahkan pengawasan," tegas Andy.