TRIBUNNEWS.com - Organisasi Persatuan Afrika atau AU menuduh baik pasukan pemerintah maupun pemberontak di Sudan Selatan melakukan kekerasan ekstrim dalam konflik pada penghujung tahun 2013.
Sebuah komisi penyelidikan menemukan bukti-bukti pembunuhan, penyiksaan, mutilasi, dan pemerkosaan dengan sebagian besar korban adalah warga sipil.
Selain itu juga ditemukan pemaksaan untuk melakukan kanibalisme.
Bagaimanapun ditegaskan bahwa tidak terjadi pembunuhan massal dalam konflik tersebut.
Ketegangan tetap tinggi di negara baru itu karena kesepakatan damai yang dicapai pemerintah dan pemberontak berulang kali dilanggar.
Dalam laporannya, Komisi AU -yang dibentuk di bawah kepemimpinan mantan presiden Nigeria, Olusegun Obasanjo- mengidentifikasi pelaku kekerasan dari kedua belah pihak.
"Komisi yakin kejahatan perang terjadi di Juba, Bir, Bentiu, dan Malakal," seperti tertulis dalam laporan.
Beberapa saksi mata di ibukota Juba mengatakan kepada komisi bahwa mereka menyaksikan orang-orang dipaksa minum darah dan makan daging orang yang baru dibunuh.
Laporan juga menulis para pelaku "mengambil darah dari orang yang dibunuh dan memaksa warga dari etnis tertentu untuk minum darah itu dan makan daging manusia yang dibakar".
Para pelaku kekerasan yang disebutkan dalam laporan seharusnya dibawa ke pengadilan, menurut juru bicara mantan presiden Obasanjo, Ateny Wek Ateny, kepada BBC.
Puluhan ribu orang tewas dan sekitar dua juta terpaksa mengungsi dalam perang saudara yang marak sekitar dua tahun lalu.
BBC