Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Masjid Kumamoto ini baru tiga tahun berdiri tetapi semakin hari semakin banyak dihadiri warga Indonesia yang berada di Kumamoto dan sekitarnya, baik pelajar maupun para pemagang.
Tak ada masalah dengan pemerintah Jepang saat pembuatan masjid tersebut di masa lalu.
"Saat kita buat masjid sampai diresmikan awal Maret 2013, tak ada masalah apa pun dengan pemerintah Jepang," papar Marlo Siswahyu (40) salah satu ujung tombak pembangunan Masjid Kumamoto tersebut, kepada Tribunnews.com baru-baru ini.
Tentu saja, katanya, dia mengecek segala macam kebutuhan perizinan dan sebagainya.
"Kita perlu periksa ke pemerintah apakah masa depan akan ada proyek pelebaran jalan di sini, diperkenankan komunitas masyarakat setempat tidak, ada kasus di sini di masa lalu tidak, dan sebagainya. Lalu kita dialog dengan lingkungan di sini," ujarnya.
Dari dialog tersebut lingkungan Masjid Kumamoto mensyaratkan tiga hal ini.
Pertama, jangan membuat masjid yang mencolok atau mentereng, terlalu bagus, catching eye.
Kedua, kalau berdakwah jangan melakukan gangguan ke tetangga misalnya ketok-ketok pintu seperti dilakukan sebuah ajaran agama di Jepang.
Kemudian ketentuan ketiga, menurutnya, agar di luar jangan membuat keributan. Misalnya saat azan tak boleh pakai speaker atau pengeras suara.
"Kita harus ikut mayoritas di sini itu sih wajar-wajar saja menurut saya," paparnya lagi.
Keuntungan yang ada saat membangun Masjid Kumamoto ini adalah karena lingkungan terdiri dari orang baru pindah.
"Dulunya perumahan dosen universitas Kumamoto, lalu semua ke luar dan jadi perumahan pribadi. Jadi masyarakat masjid di sini dan lingkungan tempat tinggal praktis sama-sama baru, sehingga tak ada masalah."
Selain itu, tambahnya, dulu daerah Kumamoto banyak dicurigai teroris berkumpul di sana.
"Sejak kejadian 11 September 2002 di New York, , setiap ada orang muslim, apalagi berjilbab, disoroti polisi. Namun kini setelah masjid ini berdiri dan berjalan, justru polisi banyak kerjasama dengan baik ke kita, hubungannya bagus."
Lalu ada tetangga yang bertanya, kalau orang muslim itu suka minum-minum atau mabok tidak.
"Langsung kita jelaskan kalau kita tidak minum-minum, malah dalam Islam dilarang minum alkohol dan mereka akhirnya jadi senang karena tidak akan mengganggu mereka. Akibatnya hubungan kita jadi sangat dekat. Ada yang nyumbangin televisi ke sini, kerjasama pemda Kumamoto juga jadi semakin erat ke kita. Bahkan dibuatkan proyek muslim friendly city untuk menyongsong Olimpiade 2020 dan kita dilibatkan."
Pemda mendukung sekali makanan halal, membuatkan website gratis, meminta kita mengajarkan bagaimana cara wudhu, cara salat dan segalanya.
"Orang Jepang tidak beragama tetapi mindset dan bisnis mereka sangat menghargai kita semua dan kita pun pasti menyampaikan terbuka semua, menjelaskan baik-baik, jangan sampai diam-diam tidak baik, dan mereka pun menghargai semua upaya kita tersebut."
Marlo sendiri yang ber isteri kan orang Jepang dari Kumamoto bertemu di Perth Australia saat dia menjadi pelajar di Western Australia Tafe dan masuk ke Jepang tahun 2002 kini memiliki permanent resident (PR).
Marlo sempat jualan keliling makanan halal dengan mobilnya selama setahun sebelum membuka toko halal foodnya tahun 2008.
Lalu tahun 2006 bersama teman-teman dari ITB yang belajar di Universitas Kumamoto, mendirikan Fumiku atau Forum Ukhuwah Muslim Indonesia Kumamoto yang kemudian berubah menjadi Forum Ukhuwah Masyarakat Indonesia Kumamoto.
"Dulu kenshusei (pemagang) banyak yang kabur ke Tokyo gara-gara dizolimi perusahaan Jepang, disiksa, gak dibayar. Lalu saya cari cara bagaimana supaya tidak kabur ke Tokyo? Maka kita buatlah kegiatan olahraga bulutangkis setahun sekali bulan Februari dan saat Mei liburan golden week kita buat kejuaraan futsal dan syukurlah berhasil."
Dengan kerjasama para pelajar di sini umumnya dari ITB dan kini banyak dari ITS, mereka ini pejabat di sana, dosen, dokter komputer, fotografi, dan lainnya, akhirnya membantu para pemagang Indonesia di Kumamoto sehingga mereka betah tinggal di Kumamoto.
"Selain membuat pengajian, kita juga ajarkan mereka para pemagang agar memiliki ilmu dan pengetahuan tambahan dari pelajar yang memiliki kelebihan ilmu. Misalnya kita ajarkan marketing, kesehatan dan sebagainya."
Akhirnya para kenshusei tersebut kini jarang yang kabur lagi ke luar Kumamoto dan selain bisa menjalankan ibadahnya dengan tenang, tambahan ilmu pun diberikan oleh para pelajar yang sedang mengambil gelar Master dan Doktornya di Universitas Kumamoto dengan dana beasiswa pemerintah Jepang. Satu contoh simbiosis mutualistis yang patut diacungi jempol bersama.