Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Saat ini adalah masa kampanye dan pemilihan umum (pemilu) di Jepang yang akan dilakukan per 10 Juli 2016. Banyak hal menarik bisa kita perhatikan. Tapi hanya dua yang akan diungkapkan di sini.
Pertama saat datang ke tempat pemilu, di Jepang selalu menggunakan pensil, masyarakat menuliskan nama calon yang dipilihnya. Kalau salah menulis ada penghapus disediakan. Hanya nama calon yang kita dukung saja dituliskan pada kertas pilihan, lalu dimasukkan ke kotak pemilu.
Di negara lain umumnya kertas pilih sudah menuliskan nama calon atau nama partai, tinggal conteng atau memberikan tanda saja bagi yang kita pilih.
Mengapa Jepang melakukan demikian? Karena pemerintah Jepang mengetahui semua rakyatnya sama rata mendapat pendidikan setingkat, tidak jauh perbedaan pendidikan, dan bisa menulis serta membaca dengan baik, sehingga cukup memberikan kertas pemilu kosong lalu menuliskan nama yang didukungnya.
Sedangkan di banyak negara dibuat model contreng tanda saja, karena dianggap tidak sedikit yang tak bisa menulis, walaupun mungkin bisa membaca. Sehingga untuk memudahkan pakai model contreng demikian.
Hal kedua yang lebih menarik adalah cara penulisan yang berbeda, tetapi bisa disahkan, diperbolehkan oleh panitia pemilu.
Yang paling penting adalah, hanya menuliskan nama calon yang kita dukung saja, tak boleh menambahkan hal lain.
Misalnya kita berikan gambar "Hati" pada nama tersebut. Kita berikan tulisan Gambare (semangat!) pada kertas pemilu. Hal-hal tersebut membuat kertas pemilu kita hangus, tidak bisa dihitung. Demikian pula ada coretan panjang, mungkin tak sengaja, akan membuat kertas pemilu kita hangus.
Olehkarena itu kalau ada coretan panjang, misalnya, tak sengaja, bisa dihapus pakai penghapus yang tersedia karena penulisan semua harus pakai pensil.
Cara penulisan berbeda bagaimana yang tetap bisa disahkan, diperolehkan? Lihat gambar.
Misalnya dalam calon pemilu hanya ada satu nama, memakai nama Takigami Akira.
Sebagai pendukung salah menuliskan nama tersebut tetapi mirip nama tersebut. Tertulis misalnya menjadi "Takagami Akira" atau tertulis menjadi "Tagikami Akira" atau menjadi "Tategami Akira", atau menjadi "Tatagami Akira" atau tertulis menjadi "Ikegami Akira". Semua itu disahkan diperbolehkan dan diakui satu suara, surat suara tidak hangus.
Mengapa? Karena dianggap mungkin penulisnya lupa sedikit nama calonnya. Sedangkan nama calon yang menggunakan nama itu hanya ada satu orang saja. Calon lain sama sekali lain namanya. Calon lain tak ada yang mirip nama Takigami Akira.
Itulah dua hal menarik dalam memberikan suara kita saat datang ke tempat pemilihan umum di Jepang. Penulisan tangan dan salah nulis nama sedikit, asal tak ada calon lain yang mirip, maka disahkan surat suara tersebut.
Lalu berapa biaya per calon legislatif yang dikeluarkan negara, memakai uang pajak rakyat Jepang saat ini?
Ternyata satu orang calon didanai dengan uang pajak rakyat sebanyak 400 juta yen untuk berbagai keperluan, baik cetak poster, penjelasan mengenai sang calon (proflnya harus diungkap) dan sebagainya, menggunakan uang negara.
Jadi kalau rakyat Jepang tak datang ke tempat pemilu, rasanya mubazir menghilangkan uang pajaknya sendiri 400 juta yen per calon legislatif yang seharusnya bisa dipilihnya.
Sementara pengalaman di masa lalu, jumlah rakyat Jepang (punya hak suara) yang datang ke tempat pemilu tidak lebih dari 50%, umumnya sekitar 40% saja.