TRIBUNNEWS.COM, NICE - Pelaku teror di Kota Nice, Prancis, akhirnya diketahui jati dirinya.
Pria yang mengendarai truk besar (lori) dan menewaskan 84 orang (semula disebut 80 orang tewas) tersebut bernama Mohamed Lahouaiej Bouhlel (31), berkewarganegaraan ganda, Prancis dan Tunisia.
Sejumlah korban adalah anak-anak. Jenazah anak-anak laki-laki dan perempuan yang tergeletak di jalanan serta trotoar tersebut ditutupi selimut.
Boneka dan kereta dorong untuk anak-anak terlihat berada di samping jenazah mereka.
Pelaku menyewa truk lori dua hari sebelum beraksi. Ia kemudian memarkir truk tersebut di jalan selama sembilan jam.
Ia diizinkan polisi masuk ke lokasi kerumunan orang yang menyaksikan atraksi kembang api peringatan Bastille Day karena beralasan ingin mengantar es krim.
Pada hari libur nasional dan hari Minggu, truk berukuran besar dilarang melintas di jalan-jalan kota, namun untuk pengiriman barang tertentu tetap diizinkan lewat.
Saat tersangka mengajukan izin untuk melewati kawasan Anglais, polisi tidak memeriksa muatan truk itu.
Damien Allemand, seorang wartawan surat kabar regional, Nice Matin, mengaku melihat kejadian horor itu.
Ia mengatakan penyerangan terjadi begitu pertunjukan kembang api selesai dan ribuan orang masih berada di sekitar tepi pantai.
"Sebuah truk putih yang sangat besar datang dengan kecepatan tinggi, menabrak kerumunan orang sehingga menghasilkan korban dalam jumlah maksimal. Aku mendengar jerit tangisan," katanya.
Pemerintah Prancis mengumumkan tiga hari berkabung secara nasional. Presiden Prancis Francois Hollande menyatakan akan berttindak lebih keras terhadap ISIS di Suriah dan Irak.
"Prancis tengah menangis. Ini menyakitkan. Namun kita kuat dan akan lebih kuat. Lebih kuat daripada kelompok fanatik yang ingin menyakiti kita," ujar Hollande.
Hollande juga memutuskan untuk memperpanjang status darurat selama tiga bulan.
"Status darurat, yang tadinya akan berakhir pada 26 Juli, diperpanjang tiga bulan. Undang-Undang baru akan diajukan ke parlemen pekan depan terkait hal ini," kata Hollande.
Prancis telah berada dalam status darurat menyusul serangan di Paris, November 2015 lalu, yang menewaskan 130 orang dan melukai ratusan lainnya.
Sejak kejadian tersebut, status darurat sudah diperpanjang dua kali guna mengantisipasi turnamen Piala Eropa 2016 dan balapan sepeda Tour de France.
Langkah tersebut, menurut Hollande, dipandang perlu lantaran Prancis kini di bawah ancaman.
"Prancis mengalami serangan parah. Seluruh Prancis kini berada di bawah ancaman terorisme. Jadi dalam kondisi seperti ini kita harus menunjukkan kesiagaan dan kegigihan tanpa akhir," kata Hollande.
Berbekal status darurat, Hollande mengatakan bakal mengerahkan 10.000 personel militer untuk membantu aparat keamanan non-militer di perbatasan Prancis. Keterlibatan tentara belum ditentukan batas waktunya. (dailymail/bbc/febby mahendra)