Demikian dikatakan penulis buku dan Sejarawan Gedung Putih William Seale seperti dikutip dari USA Today.
Menurut Seale. awalnya, sebutan "First Lady" ditujukan kepada Mary Todd Lincoln pada 1860-an.
Kemudian, sapaan itu menjadi lebih sering terdengar dan mulai teratur dipakai sejak masa istri Presiden Rutherford Hayes, Lucy, di akhir 1870-an.
"Hal itu menunjukkan kepada kita, betapa sapaan tersebut awalnya memang tidak resmi," ungkap dia.
Pembanding
Mencari pembanding dari negara lain yang memiliki presiden perempuan pun tak terlalu menolong.
Kanselir Jerman Angela Merkel mempunyai suami Joachim Sauer, yang sejak lama telah dikenal sebagai profesor dan merupakan pekerjaan utama dia.
Presiden pertama perempuan di Korea Selatan, Park Geun-hye, tidak menikah. Begitu pula dengan Presiden pertama perempuan Taiwan Tsai Ing-wen.
Lalu, Perdana Menteri Erna Solberg yang menikah dengan Sindre Finnes, lebih sering disapa dengan sebutan "her husband" atau pasangan perdana menteri.
Hal yang sama terjadi di Indonesia, ketika Presiden pertama perempuan Megawati Soekarnoputri memegang jabatan.
Jika istri presiden RI sebelumnya disebut dengan sapaan Ibu Negara, suami Megawati, Taufik Kiemas tak mendapatkan sebutkan khusus.
Lantas bagaimana dengan Bill Clinton? Apalagi dia adalah mantan presiden.
“Gelar dia adalah 'Mr. President', dan itu berlaku untuk seumur hidupnya. Tak peduli dengan adanya gelar lain yang terkait dengan adanya posisi baru atau sejenisnya," ungkap Anita McBride, mantan Kepala Staf untuk Laura Bush.
Dengan demikian, bagaimana Negara menyapa keduanya, --terutama jika mereka berada di dalam acara resmi di ruangan yang sama, sepenuhnya menjadi persoalan semantik.