TRIBUNNEWS.COM -- Sejak tahun 1999, Haris Koentjoro hijrah ke Amerika Serikat dan mencoba meniti karir di perusahaan desain dan arsitektur, Development Design Group atau DDG.
Kerja keras dan kemampuan kerjanya diakui di perusahaan yang memiliki banyak proyek di Indonesia sejak 30 tahun yang lalu ini.
Kini Haris merupakan salah satu Principal di DDG yang membawahi sebuah studio desain.
"Jadi saya mulai masuk sebagai designer, junior designer waktu itu, meskipun di Indonesia pengalamannya sudah banyak, tapi begitu di AS jadi junior designer lagi," kata dia kepada VOA Indonesia.
"Terus di sini kan ada beberapa tahap, jadi senior designer, kemudian associate, kemudian senior associate, sekarang saya jadi principal," sambung dia.
Sebagai principal, tugas Haris meliputi tanggung jawab menjalankan studio dengan berbagai proyek di Indonesia dan bekerjasama dengan enam studio lain di DDG yang dibagi per kawasan.
"Jadi, spesialisasi kami adalah di bidang perencanaan massal dan mendesain proyek yang besar dan kompleks," jelas Anthony van Vliet, Presiden dan CEO dari DDG.
DDG didirikan pada tahun 1978, dengan 50 persen proyeknya tersebar di seluruh dunia.
Menyusul kiprah internasional ini, DDG pun memiliki karyawan yang berasal dari berbagai negara.
"Saat ini kami ada di sekitar dua puluh negara, jadi latar belakang kami sangat beragam. Kami juga diuntungkan dengan hal itu karena kami jadi punya desain yang berkualitas karena kami mendapat masukan dari berbagai kebudayaan yang berbeda," kata Anthony.
"Jadi kami mengumpulkan ide dari berbagai pihak dan hal ini menghasilkan sinergi yang baik dengan desain studio kami," tambah Anthony.
Selain Haris, ada dua orang diaspora Indonesia lain yang bekerja di BBG dan seorang karyawan magang.
Kehadiran mereka di DDG dapat dikenali tidak hanya dari busana batik yang kerap mereka kenakan, tapi juga dari prestasi kerja seperti yang ditunjukkan oleh Haris.
"Haris adalah pria yang sangat berbakat dan kami sangat beruntung memilikinya. Saya menghargai Haris dan hubungan kerja kami sangat baik," sambung Anthony lagi.
Haris menilai, orang Indonesia memang memiliki kelebihan kemampuan dan pengetahuan.
"Lebih comprehensif saja cara berpikirnya karena kita memang dididik untuk mengerti semua hal dari berbagai macam aspek," ungkap dia.
"Lalu secara pendekatan sosial dan kemanusiaan, itu lebih dibanding yang lain, tapi kekurangan kita itu di komunikasi, bagaimana menyampaikan ide dan mengekspos ide itu dalam bahasa Inggris," ujar dia lagi.
Haris lantas menyarankan kepada para arsitek muda Indonesia untuk membuat forum berlatih dan mempresentasikan proyek dalam bahasa Inggris.
Mereka juga harus terus mengasah kemampuan berbahasa dengan mengikuti kompetisi internasional dan program magang.
"Jadi yang bisa dilakukan untuk arsitek-arsitek kita di Indonesia, terutama yang muda, perbanyaklah pengalaman, jadi intern itu penting, salah satunya untuk mengikuti global trend itu seperti apa," tandas dia.