Catatan Wartawan Tribunnews.com, Husein Sanusi, dari Azerbaijan
TRIBUNNEWS.COM, AZERBAIJAN - Waktu menunjukkan pukul 11.00 siang waktu Azerbaijan ketika mobil kami memasuki area masjid Jami Heydar Aliyev, Baku, Azerbaijan, Minggu (20/11/2016) lalu. Cuaca dingin menyengat hingga ke tulang, Kota Baku saat itu bercuaca 1 derajat celcius.
Bersama dengan dua orang jurnalis Majalah Matra, seorang jurnalis CNN dan seorang guide lokal, saya terkagum menyaksikan kemegahan masjid jami Azerbaijan yang berdiri di atas lahan seluas delapan hektar.
Arsitektur bangunannya begitu indah dengan tembok-tembok megah dari bahan bebatuan kokoh. Azerbaijan memang tak pernah setengah-setengah mendirikan bangunan, ini bisa dilihat dari banyaknya gedung-gedung indah nan megah di Kota Baku.
Masjid jami Heydar Aliyev memiliki halaman luas dipagari tembok di sekelilingnya dan dijaga dua security di pintu gerbangnya. Depan halaman masjid ada kolam dengan hiasan air mancur bak istana-istana megah di zaman keemasan Islam Dinasty Abbasiyah. Masjid ini dua lantai, lantai bawah digunakan untuk ibadah yaumiyyah dan lantai dua digunakan solat Jumat dan hari raya Idul Fitri/Adha.
Di sebelah masjid terdapat sebuah gedung semacam asrama, di dalamnya ada kamar-kamar bergandengan dengan kantor. Disitulah kami diterima dengan sambutan hangat dua orang imam masjid bernama Ruffat dan Hajj Hafiz.
Setelah berkenalan, Ruffat diketahui adalah imam Syiah dan Hajj Hafiz adalah imam Sunni di masjid terbesar di Azerbaijan tersebut. Keduanya sangat terbuka dan tampak aura bahagia di wajah keduanya saat menerima kami karena mengetahui kami berasal dari Indonesia, negara muslim terbesar di dunia.
Penerimaan hangat dua imam Sunni dan Syiah ini membuat suasana diskusi kami dengan mereka berlangsung terbuka. Hidangan teh panas tanpa gula khas Azerbaijan ditambah beberapa permen cukup mengusir dinginnya cuaca kota Baku yang begitu menyengat ke sekujur badan.
Imam Ruffat menjelaskan populasi Azerbaijan yang baru merdeka dari cengkraman Uni Soviet pada tahun 1991 berjumlah kurang lebih 10 juta penduduk. Dengan sebaran 6 juta di Kota Baku dan sisanya di distrik-distrik lainnya.
"Di Azerbaijan 90 persen penduduknya menganut Islam, 60 persen Syiah dan 30 persen Sunni. Tapi disini tidak membedakan Sunni atau Syiah bahkan agama apapun diterima disini sampai Atheis pun dilindungi," kata Ruffat.
Ungkapan Ruffat yang diamini Hajj Hafiz membuat saya terhentak dan ingin terus menggalinya lebih dalam terutama bagaimana Sunni dan Syiah bisa hidup berdampingan dengan penuh kerukunan? Bahkan, menariknya Sunni dan Syiah di Azerbaijan bisa beribadah bersama-sama di dalam satu atap masjid.
"Disini hanya mementingkan persatuan. Sunni dan Syiah sama-sama merasa memiliki satu Allah dan satu Nabi Muhammad. Azerbaijan tidak memiliki kementrian agama karena kami bukan negara agama. Masjid dan tempat ibadah agama lainnya disini berdiri independen tapi tetap dilindungi pemerintah," tambah Ruffat.
Kerukunan Sunni dan Syiah dijelaskan Ruffat atas keinginan rakyat Azerbaijan sendiri. Selain itu, tipikal beragama orang Azerbaijan tidak ada yang fanatik pada golongan tertentu meski ada banyak golongan disana.
"Sunni dan Syiah beribadah di satu masjid karena keinginan masyarakat, pemerintah tidak pernah mengintervensi urusan keyakinan. Disini tidak ada Sunni atau Syiah yang radikal. Imam di masjid mengajari jamaahnya mencintai pemerintah dan sebaliknya. Mayoritas disini bermadzhab Hanafi ada pula yang Maliki dan Syafii tetapi tidak ada yang fanatik bermadzhab," katanya.