TRIBUNNEWS.COM - Dalam masyarakat tradisional seperti Pashtun di Pakistan, keberadaan komunitas transgender sangat rentan dan kerap menjadi korban kekerasan.
Puluhan tahun mereka bekerja menjadi penari dan penghibur tapi terorisme dan militansi telah menghancurkan pekerjaan itu.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi KBR.
Di kota Peshawar, Pakistan, jalanan panjang, sempit dan kotor ini mengarah ke bangunan kecil berlantai tiga.
Di lantai bawah, anak-anak sedang belajar agama Islam.
Sementara di lantai dua, seorang transgender muda bernama Sawera, sedang menerima bimbingan dari Farzana Jan, 36 tahun.
Sawera tidak punya nama keluarga seperti kebanyakan komunitas transgender yang diasingkan oleh orangtua mereka.
“Orang-orang mengejek saya dan mengatakan saya terinfeksi AIDS, yang lain mengatakan saya kena kanker. Teman-teman curhat juga menertawakan saya. Saya jadi tidak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi penderitaan kecuali Farzana. Dia selalu mendukung saya dan memastikan saya maksimal dalam pengobatan.”
Orang transgender seperti Sawera, yang dibuang oleh keluarga mereka, sering berakhir di rumah Farzana Jan di Peshawar.
Untuk perlindungan, pintu masuk rumahnya dikelilingi kamera pengintai.
Untuk mendukung komunitasnya, Farzana menyediakan tempat tinggal di rumahnya, dukungan keuangan, konseling dan mengorganisir protes untuk menuntut hak-hak komunitas transgender.
Farzana adalah presiden asosiasi transgender Khyber Pakhtunkhwa, sebuah provinsi yang sangat terdampak oleh terorisme.
Di sini, komunitas transgender sangat rentan.
“Polisi Pakistan memperlakukan kami seperti teroris. Polisi menyeret orang-orang transgender di jalanan dan merobek pakaian mereka. Pemerintah mengklaim ini untuk melindungi komunitas transgender tapi negara malah memperlakukan kami dengan buruk.”
Farzana meninggalkan rumah ketika berusia 13 tahun dan tidak pernah lagi bertemu keluarganya selama 23 tahun.
Dia mulai hidup bersama komunitas transgender, yang sekarang dia anggap sebagai keluarganya.
Ada enam ribu transgender di Distrik Peshawar saja.
Dalam satu setengah tahun ini ada 46 anggota komunitas ini dibunuh dan lebih dari 300 orang mengalami kekerasan. Bahkan juga ada laporan pemerkosaan.
“Ada kelompok tertentu yang ingin membungkam kami untuk memperjuangkan hak-hak transgender. Alishah, seorang transgender perempuan yang dulu selalu bersama saya, dibunuh karena mendukung saya memperjuangkan hak-hak komunitas kami.”
Babli, 31 tahun, bertubuh tinggi dan berkulit terang. Dia sudah tinggal bersama Farzana selama dua bulan terakhir.
Dia mengalami masa-masa yang sulit sebelum bertemu Farzana.
“Beberapa anggota gangster memaksa saya berhubungan seks dengan mereka. Kalau saya tidak mau, saya akan diusir dari daerah ini. Mereka terang-terangan mengancam akan membunuh saya jika saya tidak mau.”
Farzana adalah secercah harapan bagi komunitas yang terpinggirkan ini.
Beberapa orang yang dekat dengannya mengaku tidak tahu bagaimana akan bertahan hidup tanpa dia.
Kembali ke apartemennya, Farzana Jan sedang melihat video di ponsel-nya.
Video tentang seorang transgender yang dipukuli dan dipalak ini sudah beredar di seluruh Pakistan beberapa pekan ini.
Farzana sudah menghubungi beberapa pejabat pemerintah untuk mengamankan dukungan mereka bagi korban dan agar polisi segera bertindak.
“Komunitas transgender tidak dianggap manusia tiga atau empat tahun lalu. Tapi sekarang masyakat mendukung kami ketika kami menghadapi masalah. Saya menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyuarakan penderitaan komunitas kami. Selain itu, saya juga memotivasi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Satu orang tidak akan bisa membawa perubahan besar kecuali jika kita semua bersatu.”
Farzana percaya lambat laun perubahan akan terjadi.
Penulis: Mudassar Shah/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)