Karena kekurangan TPA, masyarakat Jepang kini banyak yang tak peduli lagi dengan soal resmi atau tidak resmi.
"Yang penting anak saya bisa dititipkan di suatu tempat yang baik bagi anak saya, aman, sudah cukup, tak perlu resmi apa tidak resmi. Kalau tidak demikian saya tak bisa bekerja, tak bisa dapat uang, matilah kehidupan saya," ungkap seorang ibu, Kurosawa (32) kepada Tribunnews.com, Jumat (17/2/2017).
Seorang pemimpin sebuah yayasan di Florence, Hiroki Komazaki (37) mengingatkan tugas pemerintah untuk memperhatikan TPA tersebut karena tercantum di dalam UU atau peraturan di Jepang.
"Di semua kota pasti ada TPA, tidak mungkin ada kota yang tidak ada. Itu karena diharuskan dalam peraturan perundangan yang ada di Jepang dan untuk itu pemda setempat harus bisa membantu sepenuhnya bagi masyarakatnya dengan TPA yang ada tersebut agar masyarakat terbantu kehidupannya," kata dia.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan tingkat rata-rata menikah pertama kali wanita di Jepang adalah 29,4 tahun. Sedangkan punya anak pertama rata-rata di usia 30,7 tahun. Hal ini berarti 4 tahun lebih lambat ketimbang 30 tahun yang lalu.
"TPA jelas terkait dengan waktu melahirkan pula sehingga tambah lama TPA harus menerima anak-anak yang orangtuanya terlambat melahirkan," kata sumber Tribunnews.com.
Sementara survei dari kantor Perdana Menteri Jepang menunjukkan data orangtua baik laki maupun wanita yang memiliki anak dan harus dititipkan ke TPA sebanyak 253.000 orang dengan usia rata-rata 40 tahun.
Hal itu berarti berdampak kepada masalah lapangan kerja di mana ternyata semakin banyak dibutuhkan lapangan pekerjaan bagi pasangan usia tua (40 tahun) di Jepang saat ini.