TRIBUNNEWS.COM - Orang-orang yang berhasil selamat dari pemujaan setan bernama 'The Family' mengungkapkan cerita di balik kegilaan pemakaian LSD dan penyiksaan secara sistematik yang mereka alami.
Grup tersebut juga dikenal dengan nama 'Great White Brotherhood' yang dalam bahasa Indonesia berarti Perkumpulan Putih Agung.
Pada mulanya, perkumpulan ini diawali oleh seorang guru yoga berparas cantik, Anne Hamilton Byrne pada pertengahan 1960-an.
Di bawah pengaruh obat asam lisergat dietilamida (LSD) Anne mengumpulkan anak-anak sebagai visinya untuk mencegah Perang Dunia ke-3 yang ia yakini akan membinasakan banyak orang.
Setidaknya ada 14 anak yang telah dipilih Anne untuk tinggal di sebuah sekolah terpencil bernama "Uptop" di daerah Kai Lama tepatnya di Danau Eildon, Victoria, Australia.
Seiring dengan adanya aparat penegak hukum, ketakukan terhadap Anne Hamilton Byrne yang membesarkan para anak-anak yang diadopsi atau diberikan kepada nya untuk ia miliki dan secara identik mengubah warna rambut anak-anak tersebut menjadi pirang dan memotongnya dengan model rambut yang sama yakni bob (potongan rambut pendek).
Anak-anak yang dididik untuk percaya bahwa Anne Hamilton-Byrne adalah reinkarnasi dari Yesus, dan semua anak diberikan marga yang sama dan diharuskan untuk bertingkah laku layaknya saudara kandung.
The Family bahkan membayar profesional mahal untuk bergabung bersama mereka termasuk dokter, pengacara, perawat, arsitek dan ilmuan.
Tempat pemujaan tersebut dikelilingi oleh rumor-rumor penggunaan obat halusinasi berupa LSD, penyiksaan terhadap anak-anak, dan ritual pemujaan aneh.
Rosie Jones dan seorang jurnalis, Chris Johnston telah mengumpulkan testimoni dari berbagai sumber seperti para mantan pengikut, rekan-rekan yang terlibat dan detektitif yang mengelilingi sekte pemujaan tersebut.
Initisari dari sebuah buku mengatakan "kesamaan tersebut secara tiba-tiba akan dirusak oleh luapan hukuman yang membabi buta dan kekerasan."
"Anak-anak tak pernah tahu bagaimana caranya bisa menghindar dari hukuman karena peratura selalu berubah setiap waktu." tulisnya.
" Mereka tak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa mereka tidak bahagia. Hal ini menjadikan anak-anak itu memiliki rasa waspada yang berlebihan, trauma, hingga kekhawatiran : ketakuakn akan dihukum namun tak tahu harus berbuat apa." lanjutnya
"Pasrah dan diam menjadi hal terpenting bagi mereka, untuk menyelamatkan diri. Mereka belajar menjadi lemah, sementara orang dewasa memiliki kekuatan mutlak untuk melakukan hal sesukanya kepada mereka."