TRIBUNNEWS.COM - Pertunjukan ular adalah salah satu hiburan terpopuler di India selama beberapa generasi. Ini adalah satu-satunya pekerjaan bagi ratusan pawang ular.
Dari New Delhi, reporter Bismillah Geelani mencari tahu mengapa pertunjukan ini tetap ada meski sudah dilarang dua dekade lalu.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Sekelompok musisi rakyat, memainkan lagu-lagu dengan seruling tradisional yang terbuat dari buah labu. Mereka berpakaian oranye dengan turban atau tutup kepala serasi.
Para penonton di Pameran Kerajinan Surajkund di pinggiran kota Delhi tampak terpesona. Banyak yang ikut menari. Tapi para musisi terlihat tidak begitu antusias.
Badri Nath, 70 tahun, adalah ketua rombongan itu. ”Ini bukan sesuatu yang ingin kami lakukan; Kami tidak punya pilihan. Karya asli kami telah dilarang maka hanya ini yang bisa kami lakukan. Tidak peduli kami suka atau tidak,” tutur Badri.
Badri dan teman-temannya dulunya adalah pawang ular. Selama beberapa generasi, mereka mencari nafkah dengan pertunjukan ular di jalanan dan desa-desa di seluruh India.
Tapi pertunjukan itu kini dianggap ilegal. Larangan itu kata Badri membuat mereka sulit bertahan hidup.
“Ular dan pawang ular sudah bersama sejak dahulu kala. Hanya ini yang kami dan nenek moyang ketahui dan kami sudah melakukannya selama berabad-abad. Tapi sekarang ini diambil dari kami. Kami tidak hanya kehilangan mata pencaharian tapi juga terputus dari akar kami. Pertunjukan musik ini memnag bisa menopang hidup kami untuk beberapa hari. Tapi bagaimana setelah itu? Dan bagaimana dengan pawang yang lain?” keluh Badri.
Amandemen Undang-undang Perlindungan Satwa Liar tahun 1991 melarang pertunjukan menggunakan ular. Aturan itu melarang untuk menangkap, memiliki dan membuat pertunjukan dengan ular.
Awalnya, pemerintah tidak memberlakukan larangan itu dan pawang ular tetap bisa melakukan pertunjukan. Tapi ketika aktivis hak-hak binatang menekan pihak berwenang untuk mengendalikan pertunjukkan ular, jumlah pertunjukan ular pun menurun.
Kartik Satyanarayan dari kelompok konservasi Wildlife SOS, mengatakan tradisi ini kejam.
“Mereka pada dasarnya mengalami dehidrasi; Mereka memasukkan ular ke dalam kotak dan melupakannya, menggunakannya kapan pun mereka mau buat pertunjukan atau mengemis,” jelas Satyanarayan.
“Begitu pekerjaan selesai, mereka membuang ular itu begitu saja. Dan ular itu kadang mati; Mereka akan mati kelaparan karena tidak bisa berburu dan menjaga diri karena taring dan kelenjar racunnya sudah dibuang.”
Tapi para pawang ular itu membantah keras tuduhan bersikap kejam pada hewan. Larangan itu mempengaruhi kehidupan sekitar 800 ribu pawang ular di India.
Banyak yang beralih profesi menjadi penarik becak, pedangan kaki lima, buruh bangunan atau petani. Tapi menurut Persatuan Pawang Ular, mayoritas pawang tetap menganggur. Beberapa bahkan menolak untuk melepaskan tradisi.
Seperti pawang ular yang tampil di jalanan Delhi ini. Memakai baju dan tutup kepala kuning, dia terlihat seperti seorang Sadhu atau pendeta Hindu. Dia mengatur beberapa keranjang anyaman di depannya dan mulai memainkan seruling.
Begitu orang berkumpul di sekelilingnya, dia membuka keranjang. Tiga ular bangkit sambil melambaikan kepala seakan menari mengikuti irama musik.
Pawang itu kemudian mendekati penonton, menunjukkan kepada mereka reptil itu dan menjelaskan jenis-jenis mereka. Tapi ketika seorang polisi tiba, pawang ular itu cepat-cepat melarikan diri.
Saudara sang pawang, Birju Nath, mengatakan mereka terbiasa main petak umpet dengan polisi dan petugas kehutanan.
“Mereka menangkap dan mengambil ular kami. Tapi jika kami berhenti melakukan ini, apa yang bisa kami lakukan? Kami tidak punya usaha atau lahan. Tanpa ular-ular ini kami akan mati kelaparan,” kata Birju.
Generasi muda tidak tertarik untuk melanjutkan profesi ini. Satyanarayan dari Wildlife SOS melihatnya sebagai perkembangan positif.
”Hidup terus berlanjut. Hidup kita telah berubah secara kultural. Mengapa pawang ular malang itu harus terus menjalani kehidupan miskin dan merugikan diri dan keluarganya, hanya karena beberapa orang lain suka melihat tradisi ini?” tanyaSatyanarayan.
Kembali ke pameran kerajinan. Para pawang ular itu sedang memainkan lagu sufi atau Qawwali. Para penonton pun ikut bergoyang mengikuti alunan musik.
Ketika ular dikembalikan ke habitat aslinya, pawang ular menyematkan semua harapan pada alat musik mereka.
“Ada begitu banyak alat musik tapi seruling ini yang menonjol. Itu ciri khas kami dan buatan sendiri. Kami membuatnya dari labu dan bambu. Ini mewakili kami sebagai sebuah komunitas dan cara hidup kami yang unik. Dan ini adalah bagian dari warisan budaya India. Ini harus dilindungi dan dipromosikan oleh negara,” kata Vikrambir Nath, anggota rombongan musik.
Dia mengatakan pemerintah harus melestarikan sejarah dan musik para pawang ular. Jika tidak dalam beberapa dekade, praktik yang telah berlangsung berabad-abad ini akan hilang tanpa jejak.