TRIBUNNEWS.COMĀ - Korea Utara mengungkapkan jika memiliki kemampuan untuk menghantam New York menggunakan misil jarak jauh.
Hal tersebut dituliskan dalam sebuah artikel harian Rodong Shinmun milik pemerintah Korea Utara pekan lalu.
Dalam majalah tersebut menyebutkan jika Amerika Serikat telah meremehkan kemapuan negeri itu dalam mengembangkan misil balistik antarbenua (ICBM).
"(Presiden) Trump awal tahun ini mengatakan DPRK ( Korea Utara) tak akan mampu membuat senjata nuklir yang bisa menghantam wilayah AS," demikian tulis Rodong Shinmun, dikutip dari Kompas.com.
"AS merasa tak nyaman karena hal ini sangat mungkin terbukti. Serangkaian uji coba senjata strategis yang dilakukan DPRK dengan jelas menunjukkan tak lama lagi kami memiliki ICBM," tulis Rodong Shinmun.
Harian tersebut mengungkapkan jika Korea Utara, memiliki jarak 10.400 kilometer dari New York.
Jarak tersebut tak menjadi masalah bagi Korea Utara.
"Namun itu bukan sebuah jarak yang jauh untuk sebuah serangan di masa kini," Rodong Shinmun menegaskan.
Pada bulan Januari lalu, Presiden Donald Trump mengungkapkan dalam aku Twitternya bahwa Korea Utara tak akan mungkin berhasil membangun ICBM.
"Korea Utara mengatakan tengah mencapai tahap final pembangunan senjata nuklir yang mampu mencapai Amerika. Itu tak akan terjadi!" ujar Trump.
Korea Utara lantas membalas pernyataan tersebut dengan mengatakan, mereka bisa melakukan uji coba senjata kapanpun jika diinginkan Kim Jong Un.
Sebelumnya, kepala dinas intelijen militer AS Letnan Jenderal Vincent Stewart pernah mengatakan, Korea Utara akan segera memiliki senjata nuklir yang bisa menghantam Amerika Serikat.
Hal ini dibuktikan oleh Korea Utara yang merilis foto sebuah misil sejenis Scud yang diluncurkan dan jatuh di wilayah barat perairan Jepang.
Dihubungkan dengan Kasus Ransomeware WannaCry, Korea Utara: Itu Menggelikan!
Antisipasi Amerika
Militer Amerika Serikat juga melakukan upaya antisipasi serangan misil balistik antarbenua (ICBM).
Sistem pertahanan anti ICBM tersebut telah sukses diuji coba pada Selasa (30/5/2017).
"Sebuah misil yang berbasis di daratan diluncurkan dari pangkalan AU Vandenberg, California, sukses mencegat sebuah ICBM yang ditembakkan dari situs uji coba Reagan di Kepulauan Marshall," demikian pernyataan militer AS, dikutip dari Kompas.com.
Jarak dari Kepulauan Marshall tempat roket ICBM diluncurkan ke California adalah lebih dari 6.750 kilometer.
Dalam uji coba itu sebuah roket dari sistem pertahanan darat jarak menengah (GMD) meluncur ke angkasa lalu melepaskan "wahana pembunuh exo-atmosfer".
Wahana pembunuh exo-atmosfer itu langsung menghantam roket yang dalam skenarionya diarahkan ke daratan Amerika.
"Sistem pertahanan ini sangat penting untuk mempertahankan tanah air kita, dan uji coba ini menunjukkan kita memiliki kemampuan mencegah ancaman nyata," kata Laksamana Madya Jim Syring, Direktur Badan Pertahanan Misil AS.
Uji coba ini menandai kesuksesan dalam sistem GMD yang kerap mengalami hasil yang berubah-ubah sebelumnya.
Terakhir uji coba dilakukan pada 2014 silam dan berhasil setelah tiga kali percobaan.
Padahal saat itu misil non-ICBM yang diluncurkan memiliki kecepatan yang cenderung rendah.
"Mencegat misil adalah sebuah pekerjaan rumit, sehingga keberhasilan ini menjadi sebuah tolok ukur bagi sistem pertahanan ini," tambah Syring.
Uji coba ini menjadi titik balik bagi militer AS untuk menciptakan sistem pertahanan yang mampu mencegah serangan ICBM.
Uji coba ini juga digelar selisih waktu sehari setelah Korea Utara menggelar tes misil terbarunya pada Senin (30/5/2017).
Meski demikian, Kementerian Pertahanan AS membantah jika uji coba ini dilakukan untuk merespo Pyongyang.
Meski, Pentagon mengakui, Korea Utara adalah salah satu alasan digelarnya uji coba pencegatan ICBM itu.
"Mereka terus melakukan uji coba misil seperti yang baru saja kita saksikan dan negeri itu selalu melempar retorika berbahaya terkait serangan langsung ke daratan Amerika," kata Kapten AL Jeff Davies, juru bicara Pentagon.
Selain Korea Utara, Iran yang terus mengembangkan teknologi juga dianggap membahayakan kepentingan strategis AS di Timur Tengah. (TribunWow.com/Fachri Sakti Nugroho)