News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mereka yang Menyesal Bergabung dengan ISIS

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang istri pejuang ISIS (kiri), menyesal bergabung.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berkeras ratusan warga negara Indonesia yang dideportasi karena terlibat ISIS.

Ryamizard berpendapat, lebih baik mereka tidak usah kembali ke Indonesia.

"Enggak usah balik lagilah. Kalau mau berjuang, ya berjuang saja di sana sampai mati," ujar Ryamizard di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (17/7/2017).

Diberitakan, pemerintah Turki mendeportasi 152 WNI yang diduga kuat berafiliasi pada ISIS.

Tidak hanya 152 itu saja, WNI juga menangkap 435 WNI yang terlibat ISIS. Sebanyak 435 WNI itu direncanakan juga akan dipulangkan ke tanah air.

Kelompok ISIS yang dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi memang memiliki banyak “jurus” untuk memburu calon anggota baru.

Segala cara mereka tempuh, mulai dari menjual jargon hidup mulia atau mati syahid hingga menawarkan kehidupan bak surgawi.

Baca: Kesaksian 3 Wanita Indonesia yang Gabung ISIS, Ingin Masuk Surga Tapi Obrolannya Soal Urusan Ranjang

Tak sedikit orang dari berbagai latar belakang yang terjerat dengan rayuan maut ISIS.

Mereka rela meninggalkan keluarga, mengorbankan harta benda atau mungkin kehidupan mapan untuk terbang ke sejumlah ladang konflik, seperti Suriah dan Irak demi bergabung dengan kelompok teroris itu.

Namun, ternyata banyak juga yang kemudian merasa menyesal telah masuk ke kelompok ISIS.

Misalnya, Mohamad Jamal Khweis (26). Melalui sebuah wawancara dengan stasiun televisi Kurdistan 24 dan dikutip Fox News, Khweis menjelaskan ia berangkat ke Mosul, Irak, yang dikuasai ISIS setelah bertemu dengan seorang perempuan di Turki semasa bepergian ke negara tetangga Suriah itu.

Khweis tak bisa memastikan identitas perempuan yang berangkat bersamanya ke Mosul. Kepada The Daily Beast, sejumlah pejabat Amerika Serikat (AS) mengatakan, ISIS telah membentuk sebuah jaringan perempuan yang bertanggung jawab untuk merekrut anggota baru.

Akan tetapi, pria itu hanya mampu bertahan tinggal di Mosul selama satu bulan.

"Saya merasa sangat sangat sulit untuk hidup di sana. Saya menemukan seseorang yang bisa mengantarkan saya kembali ke Turki. Awalnya dia mengatakan bisa, namun ternyata sulit. Dia hanya mampu membawa saya ke dekat perbatasan Turki," jelas Khweis.

Pada Maret 2016 lalu, ia hengkang dari ISIS dan memilih menyerahkan diri kepada, Peshmerga, kelompok bersenjata Kurdi.

Khweis mengaku didera penyesalan mendalam karena telah bergabung dengan ISIS yang memproklamirkan diri mereka sebagai kekhalifahan. Ia menegaskan telah "membuat keputusan yang buruk" dan "tidak berpikir jernih".

"Hidup di Mosul benar-benar mengerikan. Orang-orang yang mengendalikan kota itu tidak memiliki agama. Daesh --nama lain ISIS-- tak punya agama. Saya tidak melihat mereka sebagai muslim yang baik," imbuhnya.

Lain lagi dengan pengalaman Harry Sarfo, kelahiran Jerman namun besar di Inggris. Dikutip dari The Independent, pada April 2016 lalu Sarfo tengah dipenjara dan menunggu persidangan atas tuduhan teror.

Pria yang berhasil melarikan diri dari ISIS itu mengatakan, realitas berdarah yang disaksikannya jauh dari fantasi jihad dalam video propaganda yang membuatnya tertarik bergabung dengan kelompok itu.

Video yang dimaksud adalah sebuah video propaganda ISIS yang menampilkan seorang pria berdiri di atas mobil sembari mengibarkan bendera hitam. Ia dikelilingi sejumlah laki-laki bersenjatakan Kalashnikov (AK).

Selanjutnya, pemimpin mereka menyerukan kepada warga Eropa untuk bergabung dengannya demi berjihad sebelum akhirnya ia menembak mati dua tahanan.

"Ketika mereka bicara melalui sebuah video dengan memegang senjata, rasanya mereka seperti menelepon Anda, ‘Kami (ISIS) membutuhkan Anda disini! Saudara-saudara Anda membutuhkan Anda! Kami membawa perdamaian, martabat, dan kehormatan," ujar Sarfo, mantan tukang pos yang menempuh pendidikan dan masuk Islam di London, Inggris.

"Namun pada kenyataannya, semua yang ditampilkan video itu bohong. Mereka memerintahkan agar kami membunuh sementara mereka tidak melakukannya sama sekali. Itu seperti sebuah film, setiap orang memainkan perannya masing-masing," cerita pria itu.

Sarfo ingat pernah menyaksikan enam orang ditembak dengan Kalashnikov. Sementara di lain kesempatan ia juga menyaksikan bagaimana tangan seorang pria dipotong.

"Saudara membunuh saudara, bukan hanya tidak Islami, namun juga tidak manusiawi," tegasnya.

Pria ini pun lantas memperingatkan para pemuda untuk tidak tertipu dengan apa pun bentuk propaganda ISIS. Kelompok teroris ini diketahui kerap mengunggah rekaman berdarah yang mempertontonkan pembunuhan sandera asing dan tahanan, namun di lain sisi juga menyebarluaskan video yang berusaha menampilkan kehidupan "normal" dan menjanjikan yang mereka jalani.

"Setelah Anda berada di sana, Anda baru akan menyadari terlalu terlambat untuk kembali. Perempuan bergabung dengan ISIS dengan berpikir itu adalah sebuah roman, bahwa mereka akan menikah dan hidup bahagia selamanya. Faktanya, sangat berbeda," ungkap pria itu.

"Saya sampai pada kesimpulan bahwa ini bukan jalan menuju surga, melainkan neraka. Alih-alih membebaskan rakyat Suriah, mereka justru menciptakan rezim lain," imbuhnya.

Butuh perjuangan keras bagi Sarfo untuk melarikan diri. Setelah mengalami pengejaran, ditembak, dan terpaksa sembunyi di lumpur selama sembilan jam demi menghindari penjaga ISIS di dekat perbatasan, ia berhasil selamat tiba di Turki sebelum akhirnya terbang kembali ke kampung halamannya di Bremen, Jerman. Di sana, 20 Juli 2016, polisi sudah menyambutnya.

Tak hanya pria yang tersedot propaganda ISIS. Seorang wanita yang identitasnya disamarkan pun sempat menjadi bagian dari ISIS, khususnya menjadi anggota Brigade Khansa, sebuah unit militer yang seluruh anggotanya adalah perempuan yang bertugas di kota Raqqa, Suriah. Tugas anggota Brigade Khansa adalah memastikan bahwa warga kota Raqqa menaati aturan berbusana dan memastikan perempuan menutupi wajah mereka.

Kepada CNN, perempuan yang dulunya seorang guru itu mengatakan bahwa awalnya ia merasa bahagia. Saya membawa senjata. Semuanya adalah pengalaman baru. Saya memiliki kuasa.

Saya tak berpikir saya menakuti orang lain. Namun, kemudian saya bertanya kepada diri sendiri, 'Di mana saya? Ke mana saya akan pergi?'. Saya merasa tengah ditarik menuju ke sebuah tempat yang buruk," kata perempuan itu.

Dalam wawancara itu, ia bercerita masa remajanya di Suriah dan kemudian terlibat sebagai aktivis antirezim Bashar al-Assad, masa-masa yang disebutnya sebagai masa "keemasan" sebelum kemudian berubah menjadi kekacauan.

Seorang pria yang dikenalnya di internet kemudian membujuknya untuk bergabung dengan ISIS berbekal janji bahwa kelompok itu bukan organisasi teroris dan mereka akan segera menikah.

"Dia mengatakan, 'Kami akan menjalankan Islam dengan benar. Saat ini kami sedang berperang, sebuah tahap di mana kita harus mengendalikan negara. Maka kita harus bersikap keras'," kata perempuan itu mengenang awal keterlibatannya dengan ISIS.

Pada saat banyak perempuan yang bergabung dengan ISIS, ia akhirnya memutuskan untuk keluar setelah banyak menyaksikan kebrutalan ISIS.

"Saya bukan orang seperti ini. Saya memiliki gelar sarjana pendidikan. Saya tak seharusnya seperti ini. Apa yang terjadi pada saya?" katanya.

Ia memutuskan untuk berbicara kepada CNN karena ingin orang lain, khususnya para perempuan, mengetahui ISIS yang sebenarnya. "Saya tak ingin orang lain tertipu oleh mereka. Banyak perempuan yang mengira ISIS menjalankan agama Islam dengan benar," tambahnya. (*)

Reporter : Agus Surono

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini