TRIBUNNEWS.COM, AS - Twitter telah menjelaskan pihaknya tidak akan memblokir Donald Trump dari layanannya, tanpa melihat apakah presiden mematuhi atau tidak aturan mengenai tidak pelecehan yang ditetapkan pihaknya.
Hal ini tidak mengejutkan karena cuitan presiden menarik perhatian pada layanan media sosial yang sedang berjuang untuk tetap eksis, walaupun cuitan yang mengolok-ngolok wartawan dan para saingannya, melemahkan komitmen yang sudah dinyatakan oleh Twitter untuk membuat layanannya tempat yang nyaman.
Perusahaan itu sudah menutup banyak akun yang melanggar syarat-syarat penggunaan yang ditentukannya, dan para pengritik Trump menyatakan Presiden Trump telah berulang kali melanggar aturan yang dibuat Twitter.
Berbagai seruan untuk memblokir Trump dari Twitter, khususnya oleh para aktivis liberal, penulis dan pengguna Twitter telah digaungkan bahkan sebelum ia menjadi presiden.
Jika Jokowi-Gatot VS Prabowo-AHY Bertarung di Pilpres 2019, Siapa yang Menang? https://t.co/Kfegd6H6fl via @tribunnews
— TRIBUNnews.com (@tribunnews) July 28, 2017
Seruan itu kembali digaungkan baru-baru ini ketika presiden memposting video yang menggambarkan ia tengah “membanting tubuh” seorang pria yang mukanya ditutupi dengan logo CNN.
Kelompok-kelompok seperti Reporters Committee for Freedom of the Press mengutuk video tersebut dan menyebutnya sebagai ancaman terhadap para jurnalis (seorang pembantu Gedung Putih menyatakan sebuah cuitan tidak perlu dipandang sebagai sebuah ancaman).
Kasus Trump
Twitter telah melarang pelecehan dan perilaku kebencian, namun ada banyak ruang untuk memperdebatkan apa yang dimaksud dengan perilaku seperti itu.
Contohnya, meskipun cuitan bahwa seorang pemandu acara televisi dikatakan “berdarah-darah akibat operasi plastik,” namun pernyataan tersebut masih dianggap masuk kategori abu-abu apabila dianggap melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh Twitter.
Ketika ditanya tentang Trump, Twitter mengatakan pihaknya tidak dapat berkomentar terkait akun-akun individu.
Namun CEO Twitter, Jack Dorsey, mengatakan pada NBC bulan Mei lalu bahwa “penting untuk dapat mendengar langsung dari jajaran kepemimpinan” untuk membuat orang bertanggung jawab dan melakukan diskusi secara terbuka, bukan di balik pintu-pintu tertutup.
Dari segi bisnis juga masuk akal: Cuitan-cuitan Trump terus-menerus menjadi tajuk berita, menarik perhatian pada Twitter dan, idealnya, menarik lebih banyak pengguna untuk membuat akun di media sosial tersebut.
Untuk saat ini, tampaknya tidak terlalu membantu. Hari Kamis (27/7), Twitter mengatakan basis pengguna rata-rata tiap bulannya untuk periode April-Juni tumbun 5 persen dibandingkan tahun lalu menjadi 328 juta, namun tidak berubah dibandingkan kuartal sebelumnya. Saham Twitter merosot lebih dari 9 persen ke $17.75 per saham sebelum bursa saham memulai perdagangannya hari Kamis setelah angka-angka ini keluar.
Twitter belum pernah lagi mencetak laba. Pada hari Kamis, perusahaan yang bermarkas di San Francisco melaporkan rugi bersih di kuartal kedua sebanyak $116 juta dolar atau 16 sen per saham, lebih besar dibandingkan rugi bersih $107 juta atau 15 sen per saham di periode yang sama tahun lalu.
Penerimaan turun 5 persen menjadi $574 juta dari $602 juta, mendekati ekspektasi Wall Street.