Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu), Dwi Ranny Pertiwi mengakui jika saat ini regulasi Pemerintah masih memberatkan sejumlah kalangan industri jamu.
Lanjut Ranny, keberatan itu disebabkan adanya regulasi yang ketat seperti zona wilayah industri dan pemberlakukan standar fasilitas industri jamu seperti industri farmasi modern.
Menurutnya, belum semua industri jamu siap dengan regulasi yang ketat itu.
“Bangunan standarnya harus farmasi. Apakah 100 juta cukup? Tidak cukup, karena harus pakai AC sentral (AHU). Kalau belum memenuhi standar itu, nanti nilai tidak bisa dapat sertifikat. Yang mau ekspor? Gak bisa,”ujar Ranny kepada Tribunnews.com, Selasa (1/8/2017) saat acara pameran jamu dan kosmetik di Kemenperin, Jakarta Selatan.
Baca: Kemenperin: Pertumbuhan Industri Jamu Nasional Naik 10 Persen
Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia terdapat 986 industri jamu yang terdiri dari 102 industri obat tradisional (IOT), dan selebihnya termasuk Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) yang tersebar di Pulau Jawa. Industri obat tradisional mampu menyerap tenaga kerja lebih kurang 15 juta tenaga kerja.
Ranny berterus terus terang, lagi-lagi reluasi yang ketat itu seperti dua mata pisau, di satu sisi punya regulasi ketat untuk kepentingan konsumen mendapat kualitas dan standar yang baik.
Di sisi lain, pada industri jamu yang masih skala kecil masih berat.
Baca: Asing Mulai Lirik Industri Jamu Indonesia
“Dari dulu kita jamu bikinnya di mana? Digerus, dengan cara diperas, disaring, rebusan, itu yang bener ya,” tambahnya kepada Tribunnews.com.
Ranny menambahkan dengan adanya pemberlakuan zona wilayah industri, yang saat ini industri jamu di perumahan harus ikut pindah. Oleh karena itu, ia menginginkan agar adanya regulasi khusus untuk “pemain lama” di industri jamu tradisional.