TRIBUNNEWS.COM - Baru-baru ini Timor Leste menggelar pemilihan anggota Parlemen nasional. Bagi rakyat Timor Leste, ini adalah saat bersejarah bagi penentuan nasib mereka. Ini adalah pemilihan pertama yang sepenuhnya diselenggarakan oleh rakyat Timor Leste, bukan oleh PBB, sejak negara ini merdeka pada 1999.
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Sabtu, 22 Juli lalu, Timor Leste menggelar pemilu untuk memilih wakil mereka di Parlemen. Jalanan Dili dipenuhi warga yang ingin memberikan suaranya ke tempat pemungutan suara atau TPS.
Sekitar 76 persen penduduk yang berpartisipasi memberikan suaranya pada pemilu kali ini. Dan 20 persen diantaranya baru kali ini memilih, terutama kaum muda.
Sebuah delegasi dari Uni Eropa mengawasi masa kampanye dan hari pemilihan. Ketua delegasi, Izaskun Bilbao Barandica, mengucapkan selamat kepada negara itu karena pemilu berjalan lancar dan transparan.
“Selama pengamatan kami, pemilu Timor Leste berjalan damai dan lancar. Dengan kerangka hukum yang memadai, kredibel, inklusif dan transparan mulai dari pembukaan TPS, saat pencoblosan, sampai penghitungan dan tabulasi hasil,” jelas Barandica.
Hasilnya pun sangat ketat. Dua partai politik terbesar di negara itu, yang dipimpin bekas pemimpin perlawanan, memenangkan jumlah kursi yang hampir sama.
Partai FRETILIN atau Front Revolusi untuk Timor Leste Merdeka memenangkan kursi terbanyak di Parlemen yaitu 23 kursi. Mereka ikut berjuang untuk kemerdekaan selama pendudukan Indonesia. Tapi partai ini membutuhkan dukungan dari pihak lain untuk membentuk sebuah pemerintahan mayoritas.
Sementara Partai CNRT atau Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor Leste, yang dipimpin bekas Presiden dan pejuang kemerdekaan Xanana Gusmão, meraih 22 kursi.
Pengamat Politik dari Universitas Nasional Timor Leste, Camilo Almeida, mengatakan kedua partai diperkirakan bisa membentuk koalisi.
“FRETILIN dan CNRT sudah saling mendukung. Itu ditunjukkan saat pemilihan Presiden empat bulan lalu. Saat itu keduanya mendukung kandidat Francisco Guiterres Lu-Olo untuk menjadi Presiden. Kedua pihak punya tujuan yang sama, membebaskan penduduk Timor dari kemiskinan,” kata Almeida.
Setengah dari 1,2 juta penduduk Timor Leste hidup dalam kemiskinan. Isu ekonomi dan korupsi mendominasi masa kampanye.
Penekanan diberikan pada kegagalan pemerintah menggunakan sumber minyak negara itu untuk menghasilkan lapangan kerja, kekayaan dan pembangunan. Selain itu pemerintah dianggap lambat mengembangkan sektor pertanian dan pariwisata.
Dalam pemilu ini, tiga partai kecil juga meraih kursi di parlemen. Termasuk partai yang dipimpin anak muda, Partai KHUNTO. Camilo Almeida menyebut partai-partai kecil ini akan memainkan peran penting.
“Suara oposisi di Parlemen seharusnya kuat karena ada tiga partai lain yang meraih kursi. Meski hanya punya beberapa kursi, mereka adalah generasi yang cemerlang, generasi muda,” tambah Almeida.
Apapun hasilnya, Peraih Nobel Perdamaian dan bekas Presiden Timor Leste, José Ramos Horta meminta rakyat Timor menerima keputusan pemilih.
”Kita perlu menjaga perdamaian dengan keputusan rakyat ini. Jika tidak, kita akan kehilangan demokrasi di negara kita. Karena itu saya meminta semua pendukung partai politik untuk menerima hasilnya, apa yang telah diputuskan oleh rakyat,” harap Horta.
Sejauh ini, hasil pemilu itu disambut dengan damai.