TRIBUNNEWS.COM - Menjadi pemimpin dalam sebuah wilayah pemerintahan tentu menjadi salah satu hal yang sangat membanggakan.
Bahkan banyak di antara mereka yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kursi di pemerintahan.
Pada era kini, jabatan tinggi menjadi salah satu modal untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Karena tidak bisa dipungkiri jika menduduki sebuah jabatan, pasti akan mendapatkan gaji yang sebanding dengan apa yang menjadi tanggungjawabnya, belum lagi ada alokasi dana taktis, komisi dari berbagai proyek atau ucapan terima kasih dari pengusaha karena telah memperlancar urusan bisnis mereka atau membagi proyek terhadap rekanan --meski dibantah, tak pelak adanya persenan tersembunyi.
Namun tidak demikian dengan gubernur yang satu ini. Ia justru masuk dalam deretan masyarakat miskin yang harus mendapat bantuan.
Hidupnya susah bahkan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Siapakah dia? Berikut ulasannya.
Seperti diviralkan infoyunik.com, ternyata gubernur tersebut tidak hidup di zaman kini.
Dia hidup pada zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Nama gubernur yang ternyata terdaftar ke dalam warga miskinitu ialah Said bin Amir al-Jumhi.
Kisah ini bermula ketika khalifah Umar bin Khattab berniat untuk menggantikan gubernur Syam yang lama yaitu Muawiyah dengan Said.
Berkatalah Umar kepada Said, “"Aku ingin memberimu amanah menjadi gubernur”. Akan tetapi pada awalnya Said menolak tawaran tersebut dengan alasan takut terjerumus ke dalam sebuah fitnah.
Said berkata, “Jangan kau jerumuskan aku ke dalam fitnah, wahai Amirul Mukminin.
Kalian mengalungkan amanah ini di leherku kemudian kalian tinggal aku.”
Pada saat itu Umar mengira bahwa Said menginginkan gaji, akan tetapi hal tersebut dibantah oleh Said.
Umar tetap bersikeras untuk menjadikan Said sebagai gubernur, maka untuk menunjukkan ketaatannya terhadap khalifah, maka dirinya menerima permintaan tersebut dan diangkatnya ia menjadi gubernur.
Hingga pada akhirnya berangkatlah said beserta keluarganya ke Syam untuk menjalankan amanah barunya.
Pada suatu masa, Said terlilit sebuah kebutuhan yang memerlukan uang.
Akan tetapi, di dalam rumahnya tidak ada uang pribadi yang bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Sementara itu di kota Madinah, Umar mendapatkan utusan yang berasal dari Syam.
Mereka datang dengan tujuan untuk melaporkan beberapa kebutuhan dan urusan mereka sebagai rakyat yang dipimpin oleh khalifah Umar bin Khattab.
Setelah menerima tamu tersebut, Umar berkata kepada mereka “Tuliskan nama-nama orang miskin di tempat kalian.”
Mereka pun menuliskan nama-nama orang miskinyang ada di kota Syam.
Betapa terkejutnya Umar setelah menerima tulisan tersebut, sebab menemukan nama Said yang menjadi salah satu orang miskin di kota itu.
“Apakah ini Said gubernur kalian?”
“Ya, itu Said gubernur kami.”
“Dia termasuk daftar orang-orang miskin?” tanya Umar lagi mempertegas.
“Benar, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api (tidak memasak).”
Mengetahui kenyataan tersebut membuat Umar menangis hingga janggutnya basah dengan air mata.
Setelah itu, dirinya mengambi 1.000 dinar dan menaruhnya ke dalam kantong kecil seraya berkata, "Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya, Amirul Mukminin memberi anda harta ini, supaya anda dapat menutup kebutuhan anda!”
Lalu, pulanglah utusan tersebut ke Syam dan mereka mendatangi Said dengan membawa kantong tersebut.
Betapa terkejutnya Said saat mengetahui bahwa kantong yang diterimanya berisi uang dinar.
Kemudian ia meletakkan uang tersebut dan menjauh sambil berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya.
Hal ini membuat sang istri keluar dengan wajah kebingungan sambil berkata “Ada apa, wahai Sa’id? Apakah Amirul Mukminin meninggal dunia?"
“Bahkan lebih besar dari itu,” timpal Sa'id.
“Apakah orang-orang Muslim dalam bahaya?”
“Bahkan lebih besar dari itu.”
“Apa yang lebih besar dari itu?”
“Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.”
Istrinya berkata, “Bebaskanlah dirimu darinya.” Saat itu istrinya tidak mengetahui tentang uang-uang dinar itu sama sekali.
“Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?” tanya Sa'id.
“Ya,” kata sang istri. Setelah mendapatkan jawaban dari sang istri, Said kemudian mengambil uang dinar tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong, lalu menyuruh sang istri untuk membagikannya kepada penduduk yang fakir.
Tidak lama berselang, datanglah Umar ke negeri Syam tersebut untuk melihat keadaan.
Ketika singgah di tempat tugas Said, betapa terkejutnya Umar mengetahui banyaknya keluhan dari rakyat mengenai kinerja dari gubernur mereka tersebut.
Setelah mendengar aduan dari rakyat, maka Umar langsung mengambil langkah cepat untuk menyelesaikan masalah tersebut agar tidak berlangsung lama.
Maka diadakanlah pertemuan akbar antara Said sebagai gubernur dengan rakyatnya yang merasa kecewa.
“Ya Allah, jangan Engkau kecewakan prasangka baikku selama ini kepadanya (kepada Said),” kata Umar mengawali.
Umar kemudian bertanya di hadapan penduduk.
“Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Ia tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.”
“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?” kata Umar.
Sa'id terdiam sebentar, kemudian berkata,
“Demi Allah, sebenarnya aku tidak ingin menjawab hal itu. Namun, kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu. Maka setiap pagi aku membuat adonan roti, kemudian menunggu sebentar sehingga adonan itu mengembang. Kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk keluargaku, selesai itu aku berwudhu dan baru keluar rumah menemui penduduk.”
"Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar.
Mereka menjawab, “Sesungguhnya, ia tidak menerima tamu pada malam hari.”
“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?”
“Sesungguhnya, Demi Allah, aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga. Aku telah menjadikan waktu siang hari untuk rakyat dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla,” jawab Sa'id.
“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar lagi.
Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”
“Dan apa ini, wahai Sa’id?”
Sa'id menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan. Dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari.”
“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Ia sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majelisnya.”
“Dan apa ini, wahai Sa’id?”
Sa'id menjawab, “Aku menyaksikan meninggalnya sohabat Khubaib bin Adi Al-Anshari di Mekah. Kematiannya sangat tragis di tangan orang-orang kafir Quraisy. Mereka menyayat-nyayat dagingnya kemudian menyalibnya di pohon kurma. Orang Quraisy itu meledek, “Khubaib, apakah kamu rela jika Muhammad sekarang yang menggantikanmu untuk disiksa?” Khubaib menjawab, “Demi Allah, kalau saya berada tenang dengan keluarga dan anakku, kemudian Muhammad tertusuk duri sungguh aku tidak rela.” Ketika itu aku masih dalam keadaan kafir dan menyaksikan Khubaib disiksa sedemikian rupa. Dan aku tidak bisa menolongnya. Setiap ingat itu, aku sangat khawatir bahwa Allah tidak mengampuniku untuk selamanya. Jika ingat itu, aku pingsan.”
Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan prasangka baikku kepadanya.”
Setelah mendengar jawaban tersebut, Umar kemudian memberikan uang sebanyak 1.000 dinar kepada Said. Ketika melihat uang tersebut, istrinya berkata kepada Said, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu. Belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu."
Akan tetapi, bukannya mengikuti anjuran dari istrinya, Said justru menyuruh istrinya untuk membagikan uang tersebut kepada orang yang lebih membutuhkan. Seperti kepada janda, anak yatim, orang-orang miskin dan fakir.
Demikianlah informasi mengenai nama gubernur yang termasuk dalam daftar orang miskin pada zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Meskipun Said menjabat sebagai gubernur, akan tetapi ia lebih memilih membiarkan dirinya hidup dalam kemiskinan daripada harus memakan uang rakyatnya.
Tidak hanya itu, ia juga sosok yang senantiasa mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingannya sendiri.