TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masalah pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem sedang menjadi perbincangan seluruh dunia.
Banyak pihak yang mengungkap dukungan maupun penolakannya terkait masalah tersebut.
Maneger Nasution, Direktur Pusdikham Uhamka, menjadi salah satu pihak yang mengecam pemindahan ibu kota ke Yerusalem itu.
Tak hanya menolak, Maneger juga memaparkan sejumlah alasan mengapa tidak bisa dijadikan ibu kota Israel.
"Ya, memang ada sejumlah alasan mengapa Yerusalem tidak bisa (jadi ibu kota)," ujar Maneger, melalui pesan singkat, Kamis (7/12/2017).
Baca: Berkaca dari Yerusalem: bagaimana memilih Ibu kota negara?
Alasan pertama adalah telah hilangnya kedaulatan Israel atas kota Al-Quds (Yerusalem) yang diduduki.
Berdasarkan pernyataan Maneger, hal itu sudah diputuskan melalui resolusi yang telah dikeluarkan oleh Komite Warisan Budaya Organisasi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
"Alasan kedua yakni bagi umat Islam keberadaan Yerusalem memiliki sejarah panjang dalam proses perjuangan melawan Israel," ungkap Maneger.
Kedua fakta itu, kata Maneger, sudah cukup menjadi alasan penolakan pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Di sisi lain, Maneger menyayangkan dukungan Presiden AS Donald Trump terkait pemindahan ibu kota Israel itu. Ia mengimbau Indonesia untuk memprotes secara keras kenekatan Trump ini.
"Indonesia harus mengambil inisiatif yang lebih proaktif merespon isu ini dengan mendesak Dewan Keamanan PBB, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Liga Arab untuk segera menggelar rapat untuk membahas situasi politik terkini di Yerusalem," ungkapnya.
Lebih lanjut, urai Maneger, dunia internasional juga harus mendorong dan mendukung rakyat Amerika sendiri untuk memprotes ambisi dan kebijakan Presidennya, Donald Trump.
"Karena itu tidak strategis dan akan semakin memperburuk dan menyulitkan posisi Amerika di mata komunitas internasional," pungkasnya.