Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, YERUSALEM - Pemerintah Amerika Serikat (AS) secara resmi telah merelokasi kedutaan negaranya di Israel, dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Hal itu menjadi pembuktian salah satu janji yang akhirnya ditepati oleh Presiden AS Donald Trump selama masa kampanye pemilihannya.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Selasa (15/5/2018), Delegasi khusus AS menghadiri upacara tersebut pada Senin kemarin, yang bertepatan dengan peringatan 70 tahun didirikannya Israel.
Langkah itu membuat marah masyarakat Palestina dan memicu kecaman internasional.
Baca: Kisah Wanita yang Hendak Menusuk di Mako Brimob soal Pengalamannya Sejak Bertemu Ustazah tak Dikenal
Presiden AS sebelumnya Barack Obama serta nyaris seluruh negara lainnya selama ini menahan diri untuk tidak memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem, atas dasar status terakhir kota tersebut harus diselesaikan melalui negosiasi antara Israel dan Palestina.
Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan bahwa 86 negara dengan misi diplomatik di Israel, telah diundang ke pembukaan kedutaan pada Senin kemarin.
Namun hanya 33 negara saja yang menkonfirmasi kehadiran dalam acara tersebut.
Perlu diketahui, para pemimpin Palestina selama ini melihat Yerusalem Timur sebagai ibukota negara masa depan mereka.
Bahkan para pemimpin Palestina mengatakan bahwa langkah Trump tersebut membuat AS terdiskualifikasi dari posisi sebagai mediator perdamaian.
Sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, langkah itu menandai hari yang sangat indah.
Dan ketika delegasi AS berfoto dalam momen tersebut, rumah sakit yang berada di Jalur Gaza menyampaikan bahwa mereka membutuhan donor darah secepatnya, karena pasukan Israel menembakkan peluru tajam ke arah warga Palestina yang tidak bersenjata.
Padahal warga Palestina itu hanya melakukan demonstrasi menuntut hak mereka untuk kembali ke negara itu, rumah dimana mereka telah diusir secara paksa sejak 1948 silam.
Setidaknya 52 warga Palestina dinyatakan tewas dan lebih dari dua ribuan orang terluka, menurut pejabat kesehatan di Gaza.