TRIBUNNEWS.COM, CARACAS - Presiden Venezuela Nicolas Maduro kembali memenangkan masa jabatan barunya enam tahun ke depan, pada hari Minggu kemarin.
Dewan pemilihan pun mengumumkan bahwa pemungutan suara itu kontroversial.
Menurut hasil yang diumumkan oleh Tibisay Lucena, Presiden National Electoral Council (CNE), Maduro memperoleh 5,8 juta suara, sementara rival utamanya, Henry Falcon, mendapatkan total 1,8 juta suara.
Sedangkan jumlah pemilih adalah 46,01 persen dan proyeksinya mencapai 48 persen, sebanyak total 8,6 juta masyarakat Venezuela telah memberikan suara mereka, menurut CNE.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Senin (21/5/2018), Maduro, yang merupakan pewaris politik yang tidak populer dari Presiden sayap kiri, Hugo Chavez, memuji kemenangannya sebagai kemenangan melawan imperialisme.
Koalisi oposisi utama di negara itu, Partai Persatuan Demokratis (MUD) telah memboikot pemilu tersebut, sementara dua pemimpin oposisi yang paling populer, Henrique Capriles dan Leopoldo Lopez dilarang ikut dalam pemungutan suara.
Jumlah pemilih dalam pemilihan kemarin juga lebih rendah jika dibandingkan dengan pemilihan Presiden pada 2013 silam sebanyak 80 persen suara.
Maduro pun menyampaikan sebuah pernyataan di luar Istana Presiden di Caracas pada Minggu malam, pasca kemenangannya yang dianggap kontroversial itu.
"Ini adalah hari bersejarah, hari kemenangan yang sangat indah," kata Maduro di hadapan para pendukungnya.
Pemimpin berusia 55 tahun itu menambahkan, "mereka meremehkan saya, belum pernah ada calon Presiden yang meraih 68 persen suara rakyat, kami adalah kekuatan sejarah yang berubah menjadi kemenangan populer permanen,".
Namun rival utamanya, Falcon, tidak menerima kekalahannya begitu saja.
Ia menyerukan diadakannya pemungutan suara ulang, dan menuduh pemungutan suara sebelumnya 'tidak sah'.
"Kami tidak mengakui proses pemilihan ini sebagai hasil yang sah, harus ada pemilihan baru di Venezuela," kata Falcon kepada media setempat.