Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, PARIS - Seorang ajudan Presiden Prancis Emmanuel Macron diberi hukuman skorsing dua pekan setelah terlibat dalam pemukulan seorang pengunjuk rasa dalam demonstrasi yang berlangsung di Paris pada Mei lalu.
Pernyataan tersebut disampaikan Juru Bicara Presiden pada hari ini waktu setempat.
Namun ternyata para pemimpin oposisi merasa tidak puas terkait sanksi yang diberikan.
Mereka menganggap keputusan pemberian sanksi 'dua pekan' itu terlalu ringan.
Sebelumnya, Serikat buruh secara rutin mengadakan aksi unjuk rasa setiap tahunnya pada May Day di Prancis.
Namun di negara tersebut, kegiatan serupa seringkali mengarah pada tindakan intervensi yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat.
Dilansir dari laman Channel News Asia, Jumat (20/7/2018), sebuah video yang dibagikan ke media sosial, menunjukkan aksi seorang pria yang mengenakan helm polisi tampak memukul seorang demonstran.
Ia kemudian diidentifikasi sebagai anggota staf kepresidenan Prancis.
"Kolaborator Alexandria Benalla awalnya telah diberi izin untik melihat demonstrasi itu saja, hanya mengamati," kata Bruno Roger Petit dalam sebuah pernyataan yang direkam dalam sebuah video.
"Namun terlihat jelas, ia (Benalla) melampaui (batas), ia langsung dipanggil oleh Kepala Staf Presiden dan diberi suspensi selama 15 hari, ini sebagai hukuman atas perilakunya yang tidak bisa diterima itu," tambah Roger Petit.
Sebuah sumber peradilan mengatakan kepada Reuters bahwa Jaksa Paris telah melakukan penyelidikan atas kasus tersebut pada hari ini, setelah disadarkan atas insiden itu.
Beberapa pemimpin oposisi menyuarakan kritik atas hukuman Benalla, dengan alasan itu terlalu ringan.
"Video ini mengejutkan, hari ini, kami menilai hukuman bagi seorang staf Macron sangat ringan, jelas Macron harus menjelaskan tentang ini," kata Laurent Wauquiez, Presiden partai oposisi konservatif Les Republicains, saat menyampaikan kepada radio Eropa 1.