Media Inggris, Guardian, melaporkan, Soleimani memanggil milisi untuk pertemuan tiga minggu lalu, meski tak ada kejelasan kapan pertemuan itu benar-benar terjadi.
"Itu bukan panggilan untuk mempersenjatai, tapi itu tidak jauh," kata seorang sumber intelijen senior.
Sumber tersebut juga mengatakan, para pemimpin semua kelompok milisi yang berada di bawah payung Popular Mobilisation Units (PMU) Irak hadir dalam pertemuan dengan Soleimani.
Sebagai kepala pasukan elite Quds, Suleimani memainkan peran penting dalam arahan strategis dan operasi besar milisi.
Selama 8 tahun terakhir, Jenderal Soleimani telah menjadi orang paling berpengaruh di palagan Irak dan Suriah. Dia juga memimpin upaya Teheran mengonsolidasikan kehadirannya di kedua negara dan mencoba membentuk kembali wilayah tersebut sesuai keinginannya.
Pasukan Elite Quds yang dipimpinnya dinilai banyak kalangan sukses meredam keganasan milisi ISIS di Irak dan Suriah.
Potensi perang
Walau para sekutu AS di Timur Tengah—Israel dan Arab Saudi—mungkin bertepuk tangan, sekutu AS di Eropa resah dengan kondisi yang mungkin terjadi.
Spanyol, Jerman, dan Belanda, mengambil langkah-langkah untuk menangguhkan aktivitas militer bersama AS di Timur Tengah seraya menyebut peningkatan ketegangan.
Ini bukan saatnya melatih skenario konflik antara Iran dan AS. Namun konflik Iran-AS tidak bisa dibandingkan dengan perang Irak tahun 2003 lalu.
Iran sangat berbeda dengan Irak tatkala masih dipimpin Saddam Hussein.
Invasi besar-besaran ke Iran tampaknya tidak akan terjadi.
Yang mungkin berlangsung adalah konflik udara dan maritim yang ditanggapi Iran secara asimetris. Insiden semacam ini bisa memicu konflik di Timur Tengah.
Ada kalangan yang memprediksi bahwa bencana kebijakan luar negeri bakal berlangsung apabila Trump menjabat presiden.