Komite Yudisial DPR AS diprediksi bakal memulai merumuskan aturan bahwa Trump terbukti bersalah dan layak dimakzulkan.
Setelah melakukan voting di lembaga yang dikuasai Demokrat, rumusan itu bakal diteruskan kepada Senat yang dikomandani Republik.
Jika nantinya lebih dari dua per tiga Senat menyepakati rumusan, maka Trump bakal jadi presiden pertama yang dilengserkan.
Meski begitu, upaya itu sangat kecil terjadi mengingat Senat diisi oleh para politisi yang mendukung sang presiden.
Sementara itu sebelumnya, Presiden Donald Trump mengklaim di Twitter, Amerika Serikat ( AS) bakal dilanda perang saudara jika dirinya dimakzulkan.
Dalam serangkaian kicauannya, presiden berusia 73 tahun itu mengutip kalimat dari Robert Jeffress, seorang pendeta dan kontributor Fox News.
"Jika presiden dimakzulkan oleh Demokrat (yang jelas tak mungkin), maka bakal terjadi perang saudara yang jelas tak bakal pulih," ujar Jeffress dikutip Trump.
Dilansir The Independent Senin (30/9/2019), kicauan di Twitter itu merespons keputusan oposisi Partai Demokrat untuk menyelidikinya.
Dia juga menuntut supaya dipertemukan dengan si pelapor percakapan teleponnya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky 25 Juli lalu.
Dalam perbincangannya, Trump meminta Zelensky untuk menyelidiki putra Joe Biden, calon pesaing kuatnya di Pilpres AS 2020 mendatang.
Si pelapor kemudian mengirim laporan keluhan Agustus lalu, menuding Trump meminta bantuan asing untuk mengintervensi Pilpres AS.
Keluhan dari si pelapor itulah yang menjadi dasar bagi Demokrat mengumumkan investigasi untuk memakzulkan presiden ke-45 AS itu.
Di Twitter, presiden berusia 73 tahun itu menyatakan selayaknya warga lainnya, dia meminta supaya bisa dipertemukan dengan pelapor.
"Saya berhak menemuinya, terutama setelah dia mendeskripsikan percakapan dengan pemimpin asing secara salah dan begitu ngawur," katanya.
Tak hanya itu, dia juga melancarkan kritikan kepada Ketua Komite Intelijen House of Representatives (DPR AS) dari Demokrat, Adam Schiff.