News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

China Diduga Kuat Melakukan Genosida Budaya Uighur

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa aksi dari Jama'ah Ansharusy Syari'ah membentangkan spanduk dan poster dalam aksi solidaritas untuk muslim Uighur di depan DPRD Kota Malang, Jumat (20/12/2019). Massa aksi mengutuk keras kejahatan kemanusiaan genosida terhadap masyarakat muslim Uighur di Tiongkok dan mengajak muslim Indonesia memboikot produk-produk negara Tiongkok. SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO

TRIBUNNEWS.COM, CHINA - Bayangkan ini. Ada sebuah bangunan di tengah ladang pohon kenari nan gersang di desa berdebu di selatan Provinsi Xinjiang, Republik Rakyat China.

Fasilitas itu dikelilingi dinding tembok tinggi, dua lapis kawat berduri, dengan kamera terpasang di setiap sudutnya.

Seorang penjaga mengenakan helm hitam dan rompi pelindung dengan detektor logam terpasang di pintu masuk.

Inikah yang disebut sekolah?

Tulisan yang diakhiri dengan satu pertanyaan menggugat tersebut dapat dibaca pada alinea awal rubik opini The Washington Post, Sabtu, 11 Januari 2020, dengan judul ”China Menyebut Mereka ’Siswa yang Baik Hati’”. 

Sebenarnya mereka adalah para korban genosida budaya. Fasilitas yang sering diklaim China sebagai fasilitas ”pendidikan (sekolah) kejuruan” itu lebih mirip penjara atau kamp konsentrasi.

Baca: 3 Kapal Perang TNI AL Usir Puluhan Kapal Ikan China di Natuna

Sebutan ”siswa yang baik hati” kepada para penghuni fasilitas tersebut merujuk pada kemurahan hati Partai Komunis yang membuat pengaturan khusus atas mereka.

Namun, pengaturan itu sebenarnya ibarat peribahasa ada udang di balik batu. Ada misi yang lain di balik pengaturan khusus tersebut, yakni ingin mencuci otak generasi muda warga etnis Uighur dan minoritas lainnya.

REUTERS/THOMAS PETER/Gerbang sebuah fasilitas yang disebut China sebagai pusat pendidikan keterampilan kejuruan di Xinjiang, China barat.

Bangunan itu, yang baru-baru ini juga dijelaskan dalam sebuah artikel di The New York Times (NYT), menjadi bukti pemberangusan budaya dan bahasa rakyat terjadi setiap hari di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang, China barat. Bangunan tersebut sebenarnya sekolah berasrama dan bagian upaya China untuk menghapus pola pikir warga etnis Uighur dan lainnya, termasuk Kazakh.

”Mereka adalah Muslim Turki dan sekitar 1,8 juta dari mereka sekarang dipenjara di kamp-kamp yang disebut China sebagai fasilitas ’pendidikan kejuruan’, tetapi lebih mirip penjara,” tulis media Amerika itu.

Seperti yang diungkapkan NYT dan penelitian lain yang diterbitkan baru-baru ini, upaya China untuk mengikis tradisi Uighur dimulai dari yang termuda. Anak-anak itu dipisahkan dari orangtua mereka yang telah lebih dahulu dijebloskan ke kamp-kamp tahanan terpencil. Anak-anak itu kemudian diindoktrinasi secara intensif di tempat-tempat yang dilaporkan sebagai  ”sekolah berasrama” . Hak mereka beribadah pun dibatasi di dalam fasilitas tersebut.

Baca juga: Hak Ibadah Muslim Uighur di Xinjiang Dibatasi

Tujuan dari pengaturan khusus, kata media AS, adalah untuk menghapus ingatan mereka pada bahasa dan tata budaya Uighur dan menggantikannya dengan rasa hormat yang dipaksakan kepada Partai Komunis China yang berkuasa dan tradisi penduduk mayoritas etnis Han.

Adrian Zenz dari Victims of Communism Memorial Foundation telah mendokumentasikan bahwa di beberapa daerah mayoritas Uighur di Xinjiang selatan, pendaftaran anak prasekolah lebih dari empat kali lipat dalam beberapa tahun terakhir, melebihi rata-rata tingkat pertumbuhan pendaftaran nasional, yakni lebih dari 12 kali lipat.

Mudah dipengaruhi

Mengapa terjadi demikian? Sebab, salah satu dari orangtua atau dalam beberapa kasus bahkan kedua orangtua anak-anak itu, telah lebih dahulu dijebloskan ke dalam penjara. China lalu melakukan genosida budaya dan rekayasa ulang sosial di benak anak-anak itu karena kelompok usia mereka paling mudah dipengaruhi.

China telah mengklaim kampanye itu sebagai respons terhadap ekstremisme dan kekerasan di Xinjiang satu dekade lalu, tetapi metode ini jauh melebihi apa yang dibutuhkan untuk kontraterorisme. Hukuman Muslim Uighur tampaknya sesuai dengan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan.

GOOGLE MAP/Provinsi Xinjiang di China barat merupakan rumah bagi komunitas warga minoritas Muslim Uighur, Kazakhs, dan minoritas lainnya di China.

Laporan tahunan Komisi Kongres-Eksekutif China, yang dirilis Rabu pekan lalu, mengatakan, ”Personel keamanan di kamp-kamp itu membuat para tahanan disiksa, termasuk pemukulan; kejutan listrik; interogasi dengan cara mengikat tangan dan wajah, kemudian kepalanya ditutup dan dituangi air (waterboarding); pengabaian medis; menelan obat secara paksa; kurang tidur; isolasi atau kurungan; memborgol atau membelenggu dalam waktu lama, serta akses terbatas ke toilet; kerja paksa; ….dan indoktrinasi politik”.

Terkait dengan masalah di Xinjiang, sebagian publik AS telah mendesak Kongres agar segera mengesahkan RUU yang telah diloloskan DPR pada medio Desember 2019. DPR AS meloloskan RUU yang dapat memberikan Gedung Putih kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada China terkait dugaan persekusi warga minoritas Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang.

Baca juga: AS Hendak Pertanyakan Lagi Penahanan 1 Juta Warga Uighur

RUU yang dinamakan The Uighur Act of 2019 itu berisikan kecaman AS terhadap ”pelanggaran berat hak asasi manusia” China di Xinjiang. Aparat China di sana diduga telah menahan sedikitnya 1 juta etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya secara sewenang-wenang.

Menurut Ketua DPR AS Nancy Pelosi, RUU Uighur adalah tanda bahwa Kongres AS mengambil langkah kritis untuk melawan setiap pelanggaran HAM berat oleh China terhadap etnis Uighur.

Desakan untuk merampungkan RUU menjadi UU akan membuka jalan bagi dijatuhkannya sanksi keras bagi mereka yang bertanggung jawab atas represi tersebut.

Jika kengerian di Xinjiang tidak segera berakhir, seluruh dunia harus menggugat: pantaskah China menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2022 di tengah situasi kemanusiaan yang buruk di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang?

Dalam dua tahun ini hingga Desember 2019, serta di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dunia mengecam kekerasan terhadap minoritas Muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menuding China bertindak diskriminatif kepada warga Uighur. 

Salah satunya datang dari Turki. Pada pekan ketiga Desember lalu, 1.000 orang berunjuk rasa di Istanbul untuk memprotes tindakan keras China atas warga Uighur di Xinjiang. Aksi itu kemudian disambut oleh ratusan pengunjuk rasa di Hong Kong, wilayah otonomi khusus China, yang juga mengecam tindakan terstruktur Beijing terhadap minoritas Uighur.

Bukti kekerasan

Di Istanbul, bukti kekerasan China atas warga Uighur di Xinjiang dikisahkan oleh seorang kepala sekolah yang khusus didirikan untuk mendidik anak-anak korban kekerasan di Xinjiang tersebut.

AP PHOTO/BURHAN OZBILICI/Muslim Uighur yang tinggal di Turki memprotes penindasan China terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, di Ankara, Turki, pada 5 Februari 2018.

Habibullah Kuseni, kepala sekolah tersebut, kepada AFP mengatakan, lebih dari 100 anak korban kekerasan Xinjiang ditampung di sekolah itu. Ada 26 anak kehilangan salah satu orangtua dan tujuh orang kehilangan kedua orangtua setelah orangtua mereka dijebloskan ke rumah tahanan di Xinjiang.

Kementerian Luar Negeri Turki mengkritik perlakuan China terhadap minoritas Muslim dan menyerukan penutupan kamp-kamp interniran Uighur.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, akhir Desember lalu, mengecam perlakuan China terhadap penduduk Uighur. Ia menuding Partai Komunis China berusaha menghapus budaya dan kepercayaan warga Uighur dan minoritas lainnya yang membentuk 45 persen penduduk Xinjiang.

Baca juga: Uighur, Mayoritas yang Minor

Pemerintah China mengecam Pompeo yang mengatakan Beijing sedang berupaya menghapus budaya dan kepercayaan Uighur di Xinjiang. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menolak keras pernyataan Pompeo.

Geng mengatakan, aktivitas China di Xinjiang sama seperti upaya-upaya deradikalisasi di negara-negara lainnya.  Geng mengeluh karena para politisi AS ”menghujat kebijakan China terhadap Xinjiang dan dengan terang-terangan mencampuri urusan dalam negeri China”.

Sekalipun Beijing terus menyangkal, pengaduan dan laporan tentang adanya kekerasan di Xinjiang semakin mengglobal. Para pelarian memberikan kesaksian mereka mengenai adanya kekerasan fisik atas kaum minoritas tersebut.

Aparat intelijen China dicurigai berperan besar dalam berbagai operasi yang mendorong penangkapan yang disertai penahanan secara ilegal.

Mereka, baik warga minoritas dari etnis Uighur maupun warga etnis Kazakh, mengadukan kekerasan yang diduga dilakukan di luar hukum oleh otoritas lokal Xinjiang.

Aparat intelijen China dicurigai berperan besar dalam berbagai operasi yang mendorong penangkapan yang disertai penahanan secara ilegal yang disebut sebagai kamp ”pendidikan ulang” atau ”pendidikan kejuruan”.

Kecaman OKI dan PBB

Organisasi dan badan dunia, termasuk Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan PBB, sudah sering mengecam Beijing terkait kekerasan di Xinjiang. Namun, banyak pengamat, kelompok masyarakat sipil di sejumlah negara mempertanyakan mengapa banyak negara diam dan menyebut persoalan di Xinjiang sebagai masalah dalam negeri China.

Baca juga: Menyoroti Kekerasan atas Minoritas Muslim di Xinjiang

Menurut laporan Human Rights Watch (HRW) 2019 tentang kejadian 2018 di China, otoritas China secara dramatis telah meningkatkan represi dan pelanggaran sistemik terhadap 13 juta Muslim Turki, termasuk Uighur dan etnis Kazakh, di Xinjiang, China barat laut (http://www.hrw.org ).

HRW menyebutkan, otoritas China telah melakukan pengurungan massal secara sewenang-wenang, penyiksaan, dan penganiayaan di berbagai fasilitas penahanan. Setidaknya belasan ribu orang ditahan tanpa proses hukum. Kementerian Keamanan Publik (MPS) China dilaporkan sebagai otak semua operasi intelijen tersebut, tetapi laporan itu dibantah Beijing.

Beijing melalui berbagai kesempatan selalu menyangkal adanya kekerasan fisik terhadap minoritas Muslim di Xinjiang.  Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir, beberapa waktu lalu, menggambarkan laporan luas tentang kondisi kekerasan terhadap Uighur dan kamp tahanan sebagai ”sepenuhnya bohong”.

Kementerian Luar Negeri China bahkan dengan tegas mengatakan, tidak ada kekerasan fisik dan aparat keamanan hanya menjalankan tugas untuk memerangi terorisme, separatisme, radikalisme, dan tindakan lain yang mengganggu keamanan negara. (AFP/REUTERS/AP)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "China Diduga Kuat Melakukan Genosida Budaya Uighur"

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini