Hal ini dikarenakan lautan dunia menyerap lebih dari 90 persen panas yang terperangkap oleh gas rumah kaca yang dipancarkan dari pembakaran bahan bakar fosil, perusakan hutan, dan aktivitas manusia lainnya.
Akibatnya, lautan yang lebih panas akan menimbulkan badai yang lebih parah dan mengganggu siklus air sehingga dapat memperbanyak banjir, kekeringan, kebakaran hutan, serta kenaikan permukaan laut yang tidak bisa terhindarkan.
Temperatur yang lebih tinggi juga dapat membahayakan kehidupan di laut karena jumlah gelombang laut akan meningkat tajam.
Ukuran paling umum dari pemanasan global adalah suhu udara permukaan rata-rata, karena di sinilah orang hidup.
Namun, fenomena iklim alami seperti peristiwa El Nino bisa sangat bervariasi dari tahun ke tahun.
Dalam studinya, Prof John Abraham di University of St Thomas, di Minnesota, AS mengatakan bahwa lautan dapat memberi tahu seberapa bumi akan memanas.
"Dengan menggunakan lautan, kita melihat laju pemanasan planet Bumi yang berkelanjutan, tidak terputus dan semakin cepat. Ini berita buruk," ujarnya seperti dilansir The Guardian, Senin (13/01/2020).
Menurut Prof Michael Mann, di Penn State Universitas, AS, ia menjelaskan bahwa tahun 2019 bukan hanya menjadi tahun terpanas dalam catatan.
"Itu menampilkan peningkatan ( panas) satu tahun terbesar dalam seluruh dekade, sebuah peringatan serius bahwa pemanasan yang disebabkan manusia pada planet kita terus berlanjut," ujar Mann.
Dalam jurnal Advances in Atmospheric Sciences, terdapat analisis yang menggunakan data lautan dari setiap sumber yang tersedia.
Sebagian besar data berasal dari 3.800 yang melayang di perairan bebas Argo dan tersebar di samudera. Selain itu, juga didapat tetap dari bathythermographs, mirip torpedo yang dijatuhkan dari kapal di masa lalu.
Hasilnya, peningkatan panas terjadi pada laju percepatan ketika gas rumah kaca menumpuk di atmosfer.
Laju dari 1987 hingga 2019 adalah empat setengah kali lebih cepat dari 1955 hingga 1986.
Dampak buruk bagi bumi