TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Kota Shenzen mengumumkan rancangan peraturan baru tentang larangan mengonsumsi kucing dan anjing.
Peraturan baru ini adalah bagian dari upaya pemerintah pusat untuk menerapkan larangan total atas konsumsi hewan liar.
Tentu saja, hal ini dilakukan sebagai upaya China melawan wabah Covid-19.
Peraturan baru ini diterbitkan oleh Panitia Kongres Rakyat Shenzen atau badan legislatif di kota itu pada Selasa lalu.
Publik pun bisa mengajukan pendapat mereka terkait hal ini.
Draft rancangan peraturan itu berisi daftar putih yang terdiri dari sembilan jenis daging diizinkan untuk dikonsumsi.
Namun, pemerintah belum menjelaskan kapan langkah ini akan dilaksanakan.
Daftar putih itu meliputi daging babi, sapi, ayam, kelinci, ikan dan makanan laut lainnya.
Beberapa makanan tidak lazim yang populer di China yaitu kucing dan anjing tidak termasuk di dalam daftar konsumsi tersebut.
Bahkan masakan dari ular, kura-kura, dan katak yang sangat terkenal di China Selatan juga tidak masuk.
Otoritas setempat, mengatakan pada Shenzen Special Zone Daily, bahwa mereka memutuskan tidak merilis daftar hitam hewan apa saja yang dilarang.
Sebab China memiliki puluhan ribu spesies hewan liar yang beragam dan tidak mungkin bisa di-list secara lengkap.
Langkah Kota Shenzen ini, mengikuti rencana yang telah disahkan Panitia Kongres Rakyat Nasional pada Senin lalu.
Penetapan itu meliputi peraturan, larangan perdagangan dan konsumsi hewan liar.
Seperti banyak diberitakan, bahwa beberapa ahli berpendapat praktik jual beli dan konsumsi hewan liar adalah penyebab awal munculnya wabah corona di Wuhan.
Bahkan, sejauh ini Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 80.000 orang di seluruh dunia.
Lebih dari 2.700 pasien juga harus meregang nyawa, lantaran virus mematikan ini.
Shenzen adalah kota pusat teknologi yang berada di perbatasan Hong Kong.
Pemerintah setempat menjelaskan, bagi pihak yang melanggar dan sengaja mengonsumsi hewan diluar daftar putih akan didenda hingga 20.000 Yuan.
Pengecualian diberlakukan khusus penggunaan hewan liar untuk tujuan ilmiah dan medis.
Tapi dengan syarat, bahwa pengelolaan atau fasilitas penelitian harus diperketat.
Kegemaran masyarakat China mengonsumsi hewan liar memang telah lama menjadi kontroversi.
Salah satunya dihubung-hubungkan dengan epidemi sindrom pernafasan akut (SARS), yang berhasil menewaskan lebih dari 800 orang di seluruh dunia.
Ini terjadi sekitar 17 tahun lalu, dan dihubungkan dengan makanan favorit China Selatan yakni civet cat atau musang luwak.
Praktik ini juga banyak menuai kritik dengan alasan melanggar hak-hak binatang.
Baca: Cegah Virus Corona, China Akan Larang Warganya Konsumsi Hewan Liar
Baca: UPDATE Pasien Virus Corona: Korea Selatan jadi Negara Terbanyak Kedua Pasien Corona Setelah China
Mengonsumsi kucing dan anjing, juga membuat geram banyak pecinta hewan peliharaan, di seluruh dunia.
Kota-kota lain di China, juga mulai mendorong warganya untuk membendung perdagangan hewan liar ini.
Sekitar 10 hari lalu, Tianjin, kota pelabuhan dekat Beijing juga merilis peraturan baru yang melarang penangkapan, perdagangan, pembudidayaan, pengiriman, dan konsumsi satwa liar.
Dibandingkan dengan Kota Tianjing, peraturan di Shenzen secara eksplisit menyuruh warga untuk melindungi hewan peliharaan yang biasa dikonsumsi yakni anjing dan kucing.
"Kita harus memuji Shenzen (melindungi hewan peliharaan), seharusnya ada peraturan yang melarang makan hewan pendamping sejak lama," kata Pengacara Lingkungan LSM Friends of Nature, Liu Jinmei dilansir SCMP.
Dia menilai, peraturan Shenzen bisa membuat pemilik restoran dan pelanggan turut bertanggungjawab, bila melanggar aturan.
Undang-undang perlindungan satwa liar di Tiongkok, sebenarnya sudah berlaku sejak 1989.
Tetapi peraturan ini memiliki banyak celah, sehingga praktiknya masih banyak perdagangan dan konsumsi hewan liar yang lolos.
Ini karena, perdagangan dan konsumsi ini dibolehkan jika untuk tujuan komersial.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)