TRIBUNNEWS.COM - Perang di Suriah masih terus berlangsung.
Tentara Suriah yang didukung Turki telah merebut kembali sebuah kota Idlib di barat laut Suriah.
Kota utama tersebut berhasil direbut setelah bentrokan dengan tentara sekutu pemerintah.
Berdasar pantaun media Turki dan pengamat perang, pada Senin kemarin pemberontak merebut kota Nairab.
Dilansir Al Jazeera, kota Nairab dianggap sebagai pintu gerbang ke kota strategis, Saraqeb.
Untuk diketahui, Kota Saraqeb terletak dekat dengan persimpangan antara dua jalan raya utama.
Lebih jauh, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang bermarkas di Inggris angkat bicara.
Mereka mengatakan bentrokan yang terjadi di Idlib menewaskan puluhan tentara pro-pemerintah dan pasukan Suriah, serta tentara oposisi pada Senin lalu.
Terkait hal itu, Juru Bicara Angkatan Darat Nasional yang didukung Turki, Yusef Hamoud buka suara.
"Dengan bantuan teman-teman Turki kami, kami telah mendapatkan kembali kendali atas kota stratgis Nairab, pintu gerbang Saraqeb." kata Yusef Hamoud pada kantor berita Reuters.
Sebelumnya, pada Senin lalu, Observatory melaporkan bahwa serangan udara Rusia menewaskan lima warga sipil di daeral Jabal al-Zawiya di selatan Saraqeb.
Masih dilansir Al Jazeera, Kementerian Pertahanan Rusia membantah laporan Observatory.
Mengutip laporan kantor berita Suriah SANA mengatakan, setelah merebut 10 kota dan desa di selatan jalan raya M4, pasukan Suriah terus berkembang di selatan provinsi Idlib.
Pertarungan yang Sulit
Lebih jauh, Kepala Observatorium Rami Abdel Rahman angkat bicara.
Ia mengatakan tujuan pemerintah adalah merebut kembali kendali atas bentangan jalan raya M4.
Untuk diketahui, jalan raya M4 menghubungkan kota Aleppo dan Latakia.
Untuk meraih tujuan tersebut akan membutuhkan operasi melawan kota Ariha dan Jisr al-Shughour, keduanya berada di sepanjang M4.
Analis melihat pertempuran tersebut sulit untuk Jisr al-Shughour.
Lebih jauh, pada April 2019 lalu, pemerintah Suriah dan pasukan sekutu melancarkan serangan militer untuk merebut daerah-daerah yang dikuasi pemberontak di provinsi Aleppo dan Idlib barat.
Sejumlah gencatan senjata gagal bertahan di musim panas lalu dan Damaskus meluncurkan ofensif pada Desember 2019.
900 Ribu Pengungsi
Sejak Desember 2019, pertempuran Suriah barat laut telah memaksa sekira 900 ribu orang menjadi pengungsi dan berlindung di perbatasan Turki.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa pertempuran terakhir akan membahayakan ke perkemahan orang-orang terlantar.
PBB menilai pertempuran tersebut mempertaruhkan pertumpahan darah yang diramalkan segera terjadi.
Lebih jelas, Turki dilaporkan telah menerima 3,6 juta pengungsi Suriah.
Pihak berwenang Turki menegaskan tidak mau membuka perbatasannya untuk gelombang pengungsi baru dari Idlib.
Khawatir dengan krisis pengungsi baru, Turki telah mengirim ribuan tenrata ke Idlib dalam beberapa minggu terakhir.
Terkait hal ini, Presiden Tayyip Erdogan mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk mengusir pasukan Suriah, kecuali mereka mundur pada akhir bulan.
Peneliti dari Chatham House mengatakan Erdogan sadar akan dendam yang kuat di Turki terhadap pengungsi Suriah.
"Itulah mengapa mereka membingkai kegiatan militernya di Idlib sebagai cara untuk mencegah lebih banyak pengungsi menyeberang," kata peneliti tersebut.
Lebih jauh, peneliti tersebut menjelaskan, biaya (politik) kemungkinan akan tinggi bagi Edorgan jika ia kehilangan banyak tentara di Suriah dan masih gagal menghentikan pengungsi menyeberang ke Turki.
"Tetapi dia mungkin bisa mendapatkan keuntungan dari krisis jika hasil intervensinya positif," tegasnya.
Bulan ini, sebanyak 16 personil militer Turki telah terbunuh oleh pasukan Suriah di Suriah barat laut dan beberapa pos pengamatan militer Turki.
Tidak Ada Kesepakatan tentang KTT
Presiden Turki mengatakan delegasi Rusia akan tiba di Ankara pada hari Rabu untuk membahas situasi di Idlib.
"Kami mencoba menentukan peta jalan kami dengan bernegosiasi dengan Rusia di tingkat tertinggi," katanya kepada wartawan, Selasa (24/2/2020).
Erdogan juga mengatakan ia mungkin akan bertemu dengan Vladimir Putin pada 5 Maret 2020.
Erdogan dan Putih akan bertemu pada pertemuan puncak yang diusulkan dengan Prancis dan Jerman tetapi bahwa "belum ada kesepakatan penuh antara [Presiden Prancis Emmanuel] Macron, [Kanselir Jerman Angela] Merkel dan Putin".
Baca: Soal Operasi di Idlib, Presiden Turki Erdogan Hitung Mundur dan Sampaikan Peringatan Terakhir
Baca: Sering Bela Kaum Tertindas, Mesut Ozil dan Erdogan Raih Penghargaan Kepribadian Muslim Terbaik 2019
Macron dan Merkel yang prihatin dengan situasi kemanusiaan, mendesak Putin untuk mengakhiri konflik.
Diketahui, peneliti dari Chatham House menambahkan, serangan Turki terhadap pasukan pemerintah Suriah masih memungkinkan, jika negosiasi politik antara Ankara dan Moskow terbukti tidak membuahkan hasil.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)