Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ROMA - Jumlah kematian akibat serangan virus corona di Amerika Serikat (AS) kini menembus angka 20.000 jiwa lebih.
Data kematian di AS ini melampaui data kematian akibat virus corona di Italia.
Dengan demikian, angka korban tewas terbanyak akibat virus corona saat ini terjadi di AS dengan angka riil mencapai 20.280 orang.
Dikutip dari laman Russia Today, Minggu (12/4/2020), menurut penghitungan yang dilakukan Johns Hopkins University, angka kematian di AS ini melampaui jumlah yang dimiliki Italia.
Italia, yang selama beberapa pekan berada pada peringkat atas kasus corona, sejauh ini mencatat 19.468 kematian.
Kemudian Spanyol kini berada di posisi ketiga dengan mencatat 16.480 orang meninggal karena virus ini.
Baca: Kisah Jenazah Dokter Dimakamkan Tanpa Menggunakan Peti di TPU Padurenan Bekasi
AS saat ini telah memimpin peringkat tersebut, setelah mencatat sekitar 2.000 kasus mematikan dari wabah ini dalam empat hari terakhir.
Baca: Gara-gara Pasien Berbohong, 76 Staf Medis RSUD Purwodadi Harus Jalani Rapid Test
Negeri paman sam pun akhirnya menyalip posisi Italia dan Spanyol pada hari Jumat lalu.
Kota Big Apple, yakni New York tetap menjadi kota yang paling terpukul di AS, dengan jumlah kematian mencapai 8.627.
Baca: Kemarin Dilarang, Kini Ojol Boleh Angkut Penumpang di Wilayah PSBB dengan Protokol Kesehatan
Namun, Gubernur New York Andrew Cuomo mengklaim bahwa jumlah warga yang dirawat inap dan ditempatkan dalam ruang Intensive Care Unit (ICU) terus mengalami penurunan.
New York memang dikenal sebagai kota berpenduduk paling padat di AS.
Tingkat kematian di negara itu memang lebih rendah jika dibandingkan di Italia, Spanyol dan beberapa negara lainnya.
Namun dengan populasi lebih dari 328 juta, AS merupakan rumah bagi lima kali lipat lebih banyak orang daripada Italia dan hampir tujuh kali lebih banyak dari Spanyol.
Italia memiliki rasio fatalitas kasus terburuk sebesar 12,8 persen, sementara Spanyol menderita kematian terbanyak per 100.000 orang, dengan 34,42 persen.
University Johns Hopkins memprediksi sekitar 200.000 orang Amerika mungkin akan mengalami kematian jika sistem pembatasan interaksi fisik maupun sosial (physical dan social distancing) juga work from home (WFH) dicabut di negara itu setelah diberlakukan selama 30 hari.
Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) dan Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (HHS) AS memperingatkan pada hari Jumat lalu, berdasar penelitian Institute for Health Metrics and Evaluation di University of Washington.
Lembaga penelitian itu memproyeksikan bahwa meskipun sistem WFH tetap diberlakukan, masih akan ada sekitar 61.500 kematian di AS pada bulan Agustus mendatang karena corona.