TRIBUNNEWS.COM - Remdesivir terbukti efektif melawan virus corona dalam sebuah studi besar yang membuktikan bahwa obat ini bisa memulihkan pasien dengan cepat.
Remdesivir Gilead Sciences adalah pengobatan pertama yang lulus tes ketat terhadap virus SARS-CoV-2.
Obat ini memiliki kemanjuran yang disinyalir bisa digunakan mengobati pandemi global ini, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.
Baca: 22 Rumah Sakit di Indonesia Uji Klinis Empat Obat Covid-19, Remdesivir Masuk Kategori Potensial
Baca: Obat Remdesivir Gagal Diuji Coba pada Manusia, Salah Satu Obat Eksperimental untuk Corona
Keyakinan terhadap obat ini makin tinggi setelah para ilmuwan mengatakan bahwa vaksin mungkin baru bisa dipasarkan dalam waktu satu tahu atau lebih.
Sementara itu, studi akbar yang mengungkap keberhasilan remdesivir pada Covid-19 dilakukan oleh Institut Kesehatan Nasional AS (NIH).
Pihaknya membandingkan remdesivir dengan perawatan biasa pada 1.063 pasien corona yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia.
Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIH), Anthony Fauci mengatakan obat ini telah mengurangi waktu yang dibutuhkan pasien untuk pulih hingga 31 persen.
Diketahui rata-rata pasien corona bisa sembuh dalam 15 hari perawatan, namun bagi pasien yang menggunakan remdesivir pulih dalam 11 hari.
Dia juga mengatakan ada kecenderungan kematian lebih sedikit di antara mereka yang menggunakan remdesivir.
Mengenai berbagai klaim ini, hasil penelitian akan diterbitkan dalam jurnal medis.
"Apa yang telah dibuktikan adalah bahwa obat dapat memblokir virus ini," kata Fauci.
"Ini akan menjadi standar perawatan," tambahnya.
"Data menunjukkan bahwa remdesivir memiliki efek positif yang jelas, signifikan, dalam mengurangi waktu pemulihan," sambung Fauci.
Sebuah pernyataan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengatakan bahwa mereka telah berbicara dengan Gilead yang berbasis di California mengenai pembuatan remdesivir dengan cepat.
FDA berencana untuk mengumumkan otorisasi penggunaan darurat untuk remdesivir.
Remdesivir, salah satu obat yang sedang menjalani uji coba pada penyakit Covid-19.
Meski demikian, obat ini satu-satunya yang terjauh penelitiannya.
Obat ini diberikan secara intravena dan dirancang untuk mengganggu kemampuan virus untuk menyalin materi genetiknya.
Dalam uji hewan terhadap sindrom pernapasan akut (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), penyakit yang disebabkan oleh virus corona juga, obat ini membantu mencegah infeksi.
Selain itu juga terbukti mengurangi tingkat keparahan gejala bila diberikan cukup awal.
Akan tetapi di belahan dunia manapun, obat ini belum mengantongi izin penggunaan secara legal.
Baca: Hasil Uji Klinis di Amerika Serikat, Remdesivir Sembuhkan Pasien Covid-19
Baca: Malaysia Dipilih WHO untuk Menguji Coba Obat Remdesivir, Apa itu Remdesivir?
Studi NIH dengan cepat mendaftarkan lebih banyak pasien dari tujuan awalnya yaitu hanya 440 pasien.
Penelitian diperluas untuk memberikan lebih banyak jawaban atas pertanyaan tentang remdesivir.
Beberapa pertanyaan memang menghantui kegunaan obat ini, seperti sub kelompok yang mungkin tidak bisa diobati dengan ini.
Besarnya skala studi juga dapat mengeksplorasi faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi kemanjuran obat, seperti seberapa dini obat ini harus diberikan.
Tujuan awal studi NIH ini juga berubah dari menentukan persentase pasien yang butuh ventilator, pulih, atau meninggal setelah 15 hari perawatan.
Sekarang bergeser kepada tujuan untuk menentukan waktu pemulihan seperti pasien bisa tidak butuh bantuan oksigen atau rawat inap.
"Kami bersemangat dan optimis," kata seorang pakar, Mark Denison dari Universitas Vanderbilt.
Laboratoriumnya pertama kali menguji kemanjuran remdesivir terhadap virus corona lain pada 2013 silam dan telah melakukan banyak penelitian tentang obat itu, tetapi tidak terlibat dalam penelitian NIH.
"Ini (remdesivir) aktif terhadap setiap virus corona yang pernah kami uji," katanya.
"Sangat sulit bagi virus untuk mengembangkan resistansi terhadap remdesivir. Itu berarti obat tersebut kemungkinan akan efektif dibandingkan penggunaan jangka panjang," sambung Denison.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)