TRIBUNNEWS.COM - Sebuah pukulan besar melanda umat Muslim di Sri Lanka yang terinfeksi Covid-19.
Pasalnya, jenazah dari kerabat maupun keluarga mereka terpaksa harus dikremasi sesuai perintah pemerintah.
Menurut laporan Al Jazeera, kesedihan mendalam dirasakan keluarga jenazah Zubair Fathima Rinosa yang tinggal di Ibu Kota Sri Lanka, Kolombo.
Pihaknya menuntut keadilan dan penjelasan Rinosa yang hasil tes Covid-19-nya datang setelah dua hari tubuhnya dipaksa harus dikremasi.
Semasa hidup, Rinosa dianggap mengidap Covid-19 hingga saat-saat terakhirnya.
Baca: Jepang dan China Sumbang 5.000 Obat Avigan ke Sri Lanka untuk Diuji Coba pada Pasien Corona
Namun nyatanya, dua hari setelah tubuhnya menjadi abu, hasil tes mengatakan bahwa wanita Muslim berusia 44 tahun itu negatif Corona.
Mohammed Sajid, salah satu dari empat putra Rinosa mengatakan bahwa ibunya dikremasi pada 5 Mei 2020.
Itu adalah kebijakan kontroversial pemerintah Sri Lanka, karena mewajibkan kremasi bagi semua korban tewas Covid-19.
Padahal pratik kremasi menyalahi aturan pemakaman dalam agama Islam.
Sajid mengatakan, saudaranya menandatangi formulir persetujuan kremasi karena tekanan pihak yang berwenang.
Namun, dua hari kemudian, hasil tes Rinosa menunjukkan dia tidak meninggal karena Covid-19.
"Pada 7 Mei, kami mengetahui melalui rilis media bahwa ada kesalahan dalam pengujian awal ibu saya untuk virus. Dia tidak meninggal karena COVID-19," jelas Sajid.
Baca: Jokowi Minta Gugus Tugas Tekan Angka Penyebaran Corona di Jawa: 70% Kasus Positif Ada Disana
Baca: Minta Pengendalian Kasus Corona di 5 Provinsi Lebih Efektif, Jokowi: 80 Persen Kematian di Jawa
Sajid menuturkan, ayahnya menangis pilu setelah tahu istrinya dikremasi karena salah diagnosa.
"Ayahku menangis tanpa henti. Dia terus berkata, 'Aku bisa menerima suatu hari nanti bahwa dia sudah pergi, tetapi tidak bahwa dia dikremasi.'"
Sri Lanka memiliki 869 kasus infeksi Corona dan 9 korban jiwa.
Empat dari sembilan yang meninggal karena penyakit itu adalah Muslim.
Mereka semua dikremasi, langkah yang bertentangan dengan tradisi Islam untuk menguburkan seorang jenazah.
Negara pulau Asia yang mayoritas beragama Budha itu semula menyetujui prosedur pemulasaran dengan cara dikubur.
Namun pemerintah mengamandemen pedoman tersebut pada 11 April lalu, sehingga mewajibkan kremasi bagi semua korban Covid-19.
Masih dikutip dari Al Jazeera, ini adalah langkah yang menurut umat Muslim telah merampas hak dasar dalam beragama mereka.
Baca: Gugus Tugas Diminta Kendalikan Kasus Covid-19 di Pulau Jawa Dalam 2 Minggu ke Depan
Baca: Jokowi Minta Gugus Tugas Kendalikan Kasus Covid-19 Di Pulau Jawa Dalam 2 Minggu Ke Depan
"Keluarga sedang berduka. Tidak hanya mereka kehilangan dia, tetapi mereka juga telah dirampas hak pemakaman religius dasar. Mereka juga diperlakukan dengan sangat buruk oleh pihak berwenang," kata mantan anggota parlemen dari Kongres Muslim Sri Lanka (SLMC), Ali Zahir Moulana.
"Kami mendesak pihak berwenang untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang relevan dengan cara yang tidak membuat manusia menjadi tidak manusiawi," tambahnya.
Badan Ulama tertinggi negara pulau itu juga mendesak pemerintah untuk mengizinkan penguburan.
"Kami ingin menegaskan kembali bahwa komunitas Muslim berpegang pada masalah ini selalu bahwa seorang Muslim yang meninggal karena Covid-19 harus memiliki pilihan untuk dimakamkan, sesuai dengan pedoman WHO dan seperti yang diterapkan di lebih dari 180 negara."
"Sebab itu adalah bagian integral dari iman kami dan kewajiban agama masyarakat terhadap almarhum," kata All Ceylon Jamiyyathul Ulama dalam sebuah pernyataan.
Aktivis dan tokoh Muslim terkemuka merasa prihatin melihat larangan penguburan tersebut.
Mereka menganggap ini bagian dari retorika anti-Muslim yang terjadi di tengah pandemi.
Sementara itu, penasihat Presiden Gotabaya Rajapaksa, Ali Sabry, mengatakan perintah kremasi memang tidak mengindahkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Jika para pembuat keputusan, setelah mempertimbangkan semua fakta dan aspek dan telah mencapai keputusan berdasarkan masalah ilmiah, medis, atau logis, saya tidak memiliki masalah dengannya dan orang-orang harus mematuhinya," katanya.
Rasisme Melanda Umat Islam di Sri Lanka
Nasionalis Budhan dan sebagian media Sri Lanka seakan menyalahkan Muslim atas penyebaran virus corona di sana.
Sabry menyayangkan fenomena rasisme disaat Sri Lanka menghadapi krisis semacam ini.
"Sayangnya, selama beberapa minggu terakhir, ada cukup banyak pidato kebencian yang ditujukan pada umat Islam," kata Sabri.
Hilmy Ahamed, wakil presiden Dewan Muslim Sri Lanka, mengatakan bahwa Buddhis ekstremis menggunakan pengaruh mereka dalam pemerintahan untuk menghukum komunitas Muslim.
"Ini adalah bagian dari agenda rasis mereka, di mana mereka mengatakan kepada seluruh negara bahwa 'kami akan memberi pelajaran kepada umat Islam'."
Sebenarnya, aksi stigmatisasi umat Islam sudah ditentang kelompok HAM seperti Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International dan badan-badan internasional lainnya.
"(Posisi pemerintah tentang kremasi wajib) telah dikritik oleh empat pelapor khusus PBB sebagai pelanggaran kebebasan beragama."
"Pelapor khusus mencatat bahwa Muslim Sri Lanka telah distigmatisasi dan menjadi sasaran dengan pidato kebencian selama pandemi Corona," kata Meenakshi Ganguly, Direktur HRW di Asia Selatan pada April silam.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang merupakan organisasi antar pemerintah terbesar kedua setelah PBB, menyatakan keprihatinan meningkatnya rasisme di negara tersebut.
Baca: Pasangan dari China Terima Perlakuan Rasis di Sebuah Restoran di Inggris, Diusir karena Virus Corona
Baca: 10 Insiden Rasis yang Diterima Orang Asia karena Virus Corona: Dilempari Telur, Dipukul Babak Belur
Jumat lalu, kepala PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa pandemi telah meningkatkan rasisme dan xenophobia.
Guterres mengakui bahwa sentimen anti-asing, teori konspirasi antisemit, dan serangan terhadap umat Islam meningkat.
Menyoal kremasi di Sri Lanka, pemerintah membantah tuduhan diskriminasi terhadap Muslim.
Pihaknya berdalih perintah kremasi juga berlaku untuk kelompok agama lain, termasuk umat Kristen minoritas.
Tetapi dua umat Katolik, Oshala Lakmal Anil Herath dan Ranmal Anthony Amerasinghe, menentang perintah kremasi di Mahkamah Agung dalam dua petisi terpisah.
Herath mengatakan perintah itu sewenang-wenang dan melanggar hukum.
Hingga saat ini, pemerintah belum buka suara terkait perdebatan kremasi dan rasisme ini.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)