News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Corona Memicu Penurunan Emisi Global secara Drastis, Langit Terlihat Lebih Cerah

Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pemandangan Pegunungan Kashmir yang terlihat jelas sejak 30 tahun terakhir ini dilihat dari Kota Sialkot di Punjab, India.

TRIBUNNEWS.COM - Penelitian menunjukkan bahwa emisi karbondioksida di seluruh dunia menurun secara drastis sejak Covid-19 menyerang.

Emisi harian gas rumah kaca anjlok sebesar 17 persen pada awal April lalu.

Menurut studi definitif pertama dari output karbon global tahun ini, bahkan perbandingannya sangat jauh dengan yang terjadi di 2019 silam.

Temuan menunjukkan bahwa dunia mengalami penurunan output karbon paling tajam sejak pencatatan ini dimulai.

Dimana fenomena ini datang di saat aktivitas manusia lesu dan sebagian besar ekonomi global nyaris berhenti.

Emisi karbon turun hingga sekitar 26 persen di negara-negara yang memberlakukan lockdown dengan ketat, sebagaimana dikutip dari Guardian

Baca: Update Corona Global Rabu, 20 Mei 2020 Siang: Pakistan Geser Posisi Belanda dengan 1.932 Kasus Baru

Baca: Corona Sebabkan Emisi Karbon di India Menurun Drastis untuk Pertama Kalinya dalam Empat Dekade

Orang-orang di negara bagian Punjab, India Utara terkagum-kagum dengan panorama pegunungan Himalaya yang terlihat jelas dari sana. (Twitter @Deewalia)

Di Inggris penurunannya sekitar 31 persen, sementara di Australia emisi turun 28,3 persen dalam periode April.

"Ini adalah penurunan yang sangat besar, tetapi pada saat yang sama, 83% dari emisi global dibiarkan, yang menunjukkan betapa sulitnya untuk mengurangi emisi dengan perubahan perilaku," kata profesor perubahan iklim di Universitas dari East Anglia, Corinne Le Quéré.

Diketahui Le Quéré juga merupakan penulis utama sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change.

"Dan itu tidak diinginkan, ini bukan cara untuk mengatasi perubahan iklim," sambungnya.

Sayangnya penurunan emisi karbon secara drastis ini mungkin sifatnya hanya sementara.

Saat negara-negara mulai beraktivitas secara normal, mungkin sepanjang tahun hanya mengalami penurunan emisi karbon sebanyak 7 persen.

Namun dengan catatan, bila aktivitas ini diiringi dengan sejumlah pembatasan sosial untuk menghindari penularan virus.

Tetapi bila kuncian di dunia mulai di buka lagi pada pertengahan Juni, mungkin penurunan emisi karbon di 2020 hanya berkisar 4 persen.

Jalanan sepi dari aktivitas karena warga memilih stay at home di Singapura (Facebook/Emmett Jaegerjaquez)

Angka 4 persen ini masih menandakan penurunan cukup besar sejak perang dunia kedua dan melihat kondisi dunia saat ini.

Lantaran setiap tahunnya emisi karbon dunia meningkat sebanyak 1 persen.

"(Tapi itu akan membuat) dampak yang dapat diabaikan pada tujuan perjanjian Paris," kata Le Quéré.

Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, emisi harus mencapai nol persen atau bersih pada pertengahan abad.

Tujuannya agar perjanjian Paris segera terpenuhi dan menjaga dunia dari bencana karena pemanasan global.

Le Quéré menilai penurunan karbon karena krisis Covid-19 ini memperlihatkan seberapa jauh dunia harus berkorban untuk menyelamatkan alam.

Tidak adanya kegiatan penerbangan, bekerja dari rumah, pengurangan transportasi hanya beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi emisi.

"Hanya perubahan perilaku saja tidak cukup," katanya.

"Kami membutuhkan perubahan struktural (terhadap ekonomi dan industri)."

"Tetapi jika kita mengambil kesempatan ini untuk menempatkan perubahan struktural, kita sekarang telah melihat apa yang mungkin dicapai," jelas Le Quéré.

Emisi dari penerbangan menunjukkan penurunan dramatis sekitar 60 persen, karena penerbangan internasional banyak ditangguhkan.

Sementara itu emisi dari transportasi turun tidak terlalu curam, hanya berkisar 36 persen.

Pembangkit listrik dan industri menyumbang sekitar 86 persen dari total penurunan emisi.

Meskipun penurunan emisi secara drastis ini baru terjadi kali ini, dampak pada iklim cenderung kecil.

Baca: Intip Tradisi Khas Lebaran di Luar Negeri, dari India hingga Amrik

Baca: Uni Eropa Setuju Kesepakatan Netral Karbon 2050 Tanpa Polandia

Stok karbon dioksida di atmosfer , yang mencapai 414,8 bagian per juta tahun lalu, akan naik lebih jauh menuju ambang bahaya 450ppm tahun ini, meskipun mungkin pada kecepatan yang sedikit lebih lambat.

"Karbon dioksida tetap di udara dalam waktu yang lama, jadi meskipun emisi lebih kecil, mereka masih terjadi dan karbon dioksida masih menumpuk, hanya sedikit lebih lambat," kata Richard Betts, kepala penelitian dampak iklim di Met Kantor Hadley Centre.

"Jika kita ingin menghentikan penumpukan karbon dioksida di atmosfer, kita harus berhenti meletakkannya di sana sama sekali. Ini seperti kita mengisi bak mandi dan sedikit menurunkan keran, tetapi tidak mematikannya," sambungnya.

Sementara itu menurut profesor klimatologi di University College London, Mark Maslin menilai lockdown menyebabkan penurunan tajam dalam permintaan energi, tetapi produksi energi hampir tidak berubah oleh krisis.

"Pelajaran nyata dari pandemi ini adalah bahwa kita harus secara global mengalihkan produksi energi kita dari bahan bakar fosil secepat mungkin jika kita ingin memastikan pemotongan tahun-ke-tahun berkelanjutan untuk emisi global kita," katanya.

"Kabar baiknya adalah bahwa kedua hal ini akan membantu menjaga udara bersih dan membersihkan langit yang kita semua temukan kembali selama penguncian, menyelamatkan banyak nyawa," papar Maslin.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini