TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Ketegangan antara Amerika Serikat dengan China masih berlangsung.
Ketegangan kedua negara tersebut tampak pada saling sindir terkait pandemi virus corona atau Covid-19 dan memanasnya situasi di Laut China Selatan.
Baca: China-AS Perang Dingin, Eks Komandan NATO Beberkan Potensi Besar di Laut China Selatan
Baru-baru ini, ketegangan keduanya berlanjut.
Ditandai dengan sikap Amerika Serikat yang menambah 33 perusahaan China ke daftar hitam atau blacklist ekonomi.
Disebut-sebut, perusahaan dan institusi itu membantu Beijing memata-matai populasi minoritas Uighur.
Langkah Departemen Perdagangan AS menandai upaya terbaru pemerintahan Trump untuk menindak perusahaan yang produknya dapat mendukung kegiatan militer China.
Sekaligus, menghukum Beijing karena perlakuannya terhadap minoritas Muslim.
"Tujuh perusahaan dan 2 institusi terlibat dalam pelanggaran HAM dan pelanggaran yang dilakukan dalam kampanye penindasan China, penahanan massal sewenang-wenang, kerja paksa, dan pengawasan teknologi tinggi terhadap Uighur," ujar Departemen Perdagangan AS dikutip Reuters, Sabtu (23/5/2020).
Sebanyak dua lusinan lembaga baik lembaga pemerintah maupun organisasi komersial ditambahkan dalam daftar hitam karena mendukung pengadaan barang yang digunakan oleh militer China.
Adapun perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar hitam adalah perusahaan yang fokus pada kecerdasan buatan (AI) dan pengenalan wajah (face recognition).
Di mana perusahaan AS seperti Nvidia Corp dan Intel Corp telah banyak berinvestasi di dalamnya.
Di antara perusahaan daftar hitam itu, nama NetPosa disebut.
NetPosa merupakan salah satu perusahaan AI terkenal di China, yang anak usaha face recognition-nya dikaitkan dengan pengawasan orang muslim.
Kemudian ada Qihoo360, sebuah perusahaan cybersecurity besar yang didepak dari Nasdaq pada tahun 2015.