TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) telah menempatkan beberapa perusahaan intelijen China dalam daftar entitasnya pada Oktober 2019 untuk membatasi mereka dalam mengakses teknologi AS.
Daftar hitam itu merupakan daftar yang juga memasukkan nama perusahaan telekomunikasi raksasa China, Huawei.
Dalam sebuah laporan Top10VPN, Amazon, Google, dan Microsoft ada diantara sederet perusahaan AS yang disebut menjadi penyedia 'layanan web penting yang memberi daya' pada situs web perusahaan intelijen China yang dituduh melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Dikutip dari laman Sputnik News, Senin (25/5/2020), Top10VPN adalah situs web yang mengulas tentang layanan jaringan pribadi virtual (VPN) dan berfokus pada masalah yang berkaitan dengan privasi.
Kepala Penelitian di Top10VPN Simon Migliano mengatakan bahwa melalui penyediaan layanan web penting untuk perusahaan-perusahaan yang kontroversial ini, perusahaan-perusahaan AS berperan dalam proliferasi produk pengawasan yang sangat invasif dan berpotensi melemahkan HAM.
Baca: Tak Boleh Keluar Oleh Baim Wong karena Kasus Corona Meningkat, Nenek Iroh : Manusianya Banyak Dosa
"Terlepas dari upaya pemerintahan Presiden Donald Trump dalam memisahkan sektor-sektor teknologi Amerika dan China, kehadiran perusahaan-perusahaan Amerika dalam pengaturan yang lebih bijaksana ini menunjukkan bahwa kerja sama antara keduanya akan tetap ada," kata Migliano.
Top10VPN secara khusus menunjuk Amazon dan Google yang diduga menyediakan layanan web untuk Dahua Technology dan Hikvision.
Baca: Malaysia Larang Warganya Gelar Kunjungan di Hari Kedua Idul Fitri
Sementara layanan Microsoft dilaporkan digunakan oleh pemula intelijen buatan China, SenseTime dan Megvii.
Selain itu, laporan Top10VPN menyebutkan bahwa Twitter dan Facebook juga menjadi perusahaan yang seolah-olah menyediakan layanan jaringan pengiriman konten kepada perusahaan China Hikvision.
Menanggapi tudingan itu, semua perusahaan AS yang disebutkan dalam dokumen tersebut pun menolak berkomentar mengenai masalah ini.
Perlu diketahui, laporan tersebut muncul setelah perusahaan-perusahaan intelijen asal China ini masuk dalam daftar hitam Gedung Putih pada Oktober 2019 atas tuduhan pelanggaran HAM di Daerah Otonomi Uighur, Xinjiang.
Dalam laporan Agustus 2018, para pakar dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang berfokus pada penghapusan diskriminasi rasial mengatakan bahwa ada sekitar 1 juta warga etnis Uighur diperkirakan ditahan di kamp pendidikan ulang.
China pun telah berulangkali membantah keberadaan kamp-kamp semacam itu.
Negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping ini mengklaim bahwa tuduhan yang tidak berdasar itu terkait dengan apa yang disebut sebagai sekolah kejuruan yang didirikan sebagai bagian dari upaya kontra-teroris di wilayah tersebut.
Sebelumnya, perusahaan-perusahaan intelijen buatan China telah dimasukkan dalam daftar hitam yang sama dengan Huawei, raksasa teknologi China yang terus mendapatkan sorotan pemerintah AS.
Baca: UPDATE Ibu dan Anak Naik Ambulans ke Jember, Sudah 2 Minggu Tifus dan Kini Dirawat di RSD Balung
AS memang melancarkan tindakan keras terhadap raksasa teknologi China itu sejak Mei tahun lalu.
Gedung Putih mengklaim bahwa perusahaan tersebut bekerja sama dengan pemerintah China untuk memata-matai para penggunanya.
Tuduhan ini pun dibantah keras keduanya, baik otoritas China maupun Huawei.