TRIBUNNEWS.COM - Kerusuhan pecah pascakematian warga keturunan Afrika-Amerika George Floyd oleh petugas polisi di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat.
Bahkan, kerusuhan tersebut meluas di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat.
Baca: LBH Jakarta: Kasus George Floyd Harus Jadi Pembelajaran bagi Polri
Kabar terbaru, aksi unjuk rasa atas kematian George Floyd juga merembet ke Eropa.
Melansir Kontan.co.id, ratusan orang di London dan Berlin juga turun ke jalan pada hari Minggu (31/5/2020) dalam solidaritas terhadap demonstrasi yang terjadi di AS.
Isu rasial menyeruak dan para demonstran menuntut keadilan atas kematian pria tanpa senjata yang tewas di kaki polisi kulit putih di Minneapolis.
Seperti dikutip Reuters, Senin (1/6/2020), gelombang protes di Amerika juga terus membesar.
Beberapa demonstrasi berubah menjadi kekerasan ketika demonstran memblokir lalu lintas, membakar dan bentrok dengan polisi anti huru hara.
Beberapa di antaranya menembakkan gas air mata dan peluru plastik dalam upaya untuk memulihkan ketertiban.
Sejatinya bagaimana George Floyd meninggal?
Laporan lengkap oleh pemeriksa medis daerah belum dirilis.
Tetapi pengaduan menyatakan bahwa pemeriksaan post-mortem tidak menemukan bukti "asfiksia traumatis atau pencekikan".
Pemeriksa medis mencatat Floyd memiliki masalah jantung.
Dan ada kombinasi "efek minuman keras dalam tubuhnya" dan perlakuan ketika dia ditahan oleh petugas "kemungkinan berkontribusi pada kematiannya".
Laporan itu mengatakan, Derek Chauvin, polisi kulit putih berlutut di leher Floyd selama delapan menit dan 46 detik.