News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Rusuh di Amerika Serikat

Demo Kasus George Floyd dan Tambahan 21.000 Kasus Baru Covid-19 di Amerika Serikat

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Whiesa Daniswara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah demonstran berlutut dan mengangkat tangan saat melakukan aksi unjuk rasa atas kematian George Floyd di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, Minggu (31/5/2020) waktu setempat. Meninggalnya George Floyd, seorang pria keturunan Afrika-Amerika, saat ditangkap oleh polisi di Minneapolis beberapa waktu lalu memicu gelombang aksi unjuk rasa dan kerusuhan di kota-kota besar di hampir seantero Amerika Serikat. AFP/Chandan Khanna

TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat (AS) mencatatkan penambahan kasus baru Covid-19 sebanyak 21.000 kasus pada Senin (1/6/2020).

Penambahan kasus Corona dengan jumlah tak sedikit itu terjadi di tengah protes massa terhadap kematian George Floyd.

Seperti ramai dikabarkan, unjuk rasa terjadi di berbagai daerah di AS untuk menuntut keadilan atas tewasnya George Floyd buntut dugaan penganiayaan anggota polisi.

Dikutip dari ABC News, lebih dari 21.000 orang didiagnosis dengan Covid-19 di seluruh Amerika Serikat pada hari Senin, menurut hitungan yang disimpan oleh Universitas Johns Hopkins.

Kasus-kasus baru diidentifikasi di semua 50 negara bagian serta wilayah Washington, D.C. dan A.S.

Peningkatan dalam infeksi juga datang ketika protes massa terjadi dari pantai ke pantai setelah kematian George Floyd.

Baca: Para Pesohor Gabung Demo Kematian George Floyd, Aktor Ini Ditangkap dan Diborgol

George Floyd adalah seorang pria kulit hitam yang meninggal pada 25 Mei di Minneapolis tak lama setelah seorang perwira polisi kulit putih menginjak leher George hampir sembilan menit ketika tiga petugas lainnya berdiri di sekitarnya.

Departemen Kepolisian Minneapolis sejak itu memecat keempat petugas, dan yang terlihat menjebak Floyd, Derek Chauvin, telah didakwa dengan pasal pembunuhan tingkat tiga.

Namun, para pengunjuk rasa menyerukan agar tiga perwira lainnya didakwa dan mengutuk perlakuan menyeluruh terhadap warga kulit hitam Amerika oleh polisi.

Dari 25 Mei hingga 27 Mei, Amerika Serikat melaporkan rata-rata harian sekitar 18.600 kasus baru Covid-19.

Jumlah itu meningkat menjadi rata-rata harian sekitar 22.500 kasus baru dari 28 Mei hingga 1 Juni, menurut data dari Johns Hopkins University.

12 Kota Mencekam

Jumlah orang yang turun ke jalan pada hari-hari sejak kematian Floyd mencapai ribuan, meskipun banyak yang terlihat mengenakan masker wajah.

Para pengunjuk rasa di sekiranya 12 kota AS menentang jam malam yang diberlakukan pada Sabtu malam, (30/5/2020).

Mereka berkumpul di jalan dan meluapkan kemarahan mereka atas kematian George Floyd, pria kulit hitam tak bersenjata yang tewas di tangan polisi.

Dikutip Tribunnews dari Al Jazeera, ratusan pengunjuk rasa berada di Minneapolis, Minnesota, lokasi di mana George FLoyd meninggal pada Senin pekan lalu.

"Kami tak membutuhkan jam malam, kami perlu perubahan," ungkap penduduk Minneapolis yang telah tinggal di sana selama 20 tahun.

Baca: Polisi Pembunuh George Floyd Dipindah ke Oak Park Heights, Penjara Berkeamanan Maksimum

Lebih lanjut, para pengunjuk rasa bertahan di jalanan setidaknya sampai keempat petugas polisi yang terlibat dalam kematian George Floyd didakwa.

Dalam foto yang dirilis Penjara Hennepin County pada 31 Mei 2020, nampak Derek Chauvin ketika diambil tampak depan dan samping. Mantan polisi Minneapolis itu dituding membunuh George Floyd, setelah videonya menindih leher pria kulit hitam berusia 46 tahun selama hampir sembilan menit viral di media sosial. (AFP PHOTO/Hennepin County Jail/HANDOUT)

Sejauh ini, hanya satu petugas, Derek Chauvin, telah ditangkap.

Untuk diketahui, Chauvin, polisi berkulit putih, menindih leher George Floyd selama hampir sembilan menit.

Bahkan ketika George Floy merintih, "Aku tidak bisa bernapas", dan orang-orang di sekitarnya mendesak Chauvin untuk melepaskan George Floyd.

Kematian George Floyd Membangkitkan Luka Lama

Secara terpisah, huru-hara demonstran tidak hanya atas kematian George Floyd.

Tapi juga mengingat luka lama, atas pembunuhan yang dilakukan oknum polisi dan kekerasan terharap orang Afrika-Amerika tak bersenjata.

Pada 2015 lalu, para pengunjuk rasa berdemonstrasi selama lebih dari dua minggu, setelah polisi membunuh Jamar Clark (24) di Minneapolis.

Tak ada tuntutan yang diajukan terhadap petugas polisi yang terlibat.

Tahun berikutnya, Philando Catile (32) terbunuh oleh polisi pada saat pemberhentian lalu lintas di pinggiran kota Saint Paul.

Teman dekat Catile membagikan aksi penembakan di Facebook.

Petugas yang terlibat dalam insiden ini juga dilaporkan dibebaskan dari dakwaan pembunuhan.

Baca: Identitas Pria Bertato Peta Indonesia di Foto Viral Kerusuhan Demo Kasus George Floyd di AS

Baca: Polisi yang Membuat George Floyd Tewas Dipindah ke Penjara Berkeamanan Maksimum

George Floyd Masuk Daftar Orang Kulit Hitam yang Mati di Tangan Polisi

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengutuk aksi pembunuhan komunitas Afika-Amerika yang tidak bersenjata di Amerika Serikat pada Kamis (28/5/2020) lalu.

Michelle Bachelet juga menyerukan agar polisi AS tidak menggunakan kekuatan berlebihan bila tidak ingin dituntut atau dihukum karena kejahatan mereka, dikutip dari The Hill

Michelle merilis pernyataan ini terkait George Floyd yang meninggal setelah ditindih lehernya oleh polisi.

Berdasarkan video yang beredar, Floyd beberapa kali meminta agar polisi Derek Chauvin melepaskan lehernya itu.

"Tolong, aku tidak bisa bernapas," ucap Floyd lirih.

Baca: Reporter CNN Ditangkap Petugas saat Siaran Langsung Aksi Protes George Floyd

Baca: Polisi yang Menindih Leher George Floyd hingga Meninggal Didakwa Pembunuhan

George Floyd (cbs)

Namun, Chauvin tetap pada posisinya selama kurang lebih 9 menit dan pada Jumat (29/5/2020) dia sudah didakwa pembunuhan.

"Ini adalah yang terbaru dalam garis panjang pembunuhan orang-orang Afrika-Amerika yang tidak bersenjata oleh polisi AS dan anggota masyarakat," kata Bachelet.

"Saya kecewa harus menambahkan nama George Floyd diantara Breonna Taylor, Eric Garner, Michael Brown, dan banyak orang Afrika-Amerika tak bersenjata lainnya yang telah meninggal selama bertahun-tahun di tangan polisi."

"Serta orang-orang seperti Ahmaud Arbery dan Trayvon Martin yang dibunuh oleh anggota publik yang bersenjata," jelas Michelle menyebutkan daftar orang-orang yang senasib dengan George Floyd.

Komisioner menyerukan otoritas AS untuk mengambil tindakan serius untuk menghentikan pembunuhan pada komunitas minoritas ini.

"Prosedur harus diubah, sistem pencegahan harus diberlakukan, dan diatas semua, petugas polisi yang menggunakan kekuatan berlebihan harus dituntut dan dihukum karena kejahatan yang dilakukan," tulisnya.

Baca: Tuding Tak Ada Reformasi, Donald Trump Nyatakan AS ke Luar dari WHO

Meski Michelle menyambut baik penyidikan insiden Floyd, dia juga menyangsikannya.

Berkaca pada kejadian serupa di masa lalu, penyidikan berujung pada pembunuhan dibenarkan dengan alasan yang dipertanyakan.

Atau bahkan hanya ditangani dengan pemberian sanksi administratif.

"Peran yang dimainkan dan menyebar luas dalam diskriminasi rasial dalam kematian seperti itu juga harus diperiksa, diakui, dan ditangani dengan baik," ujar Michelle.

(Tribunnews.com/Chrysnha, Andari Wulan Nugrahani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini