TRIBUNNEWS.COM - Pandemi corona bertabrakan dengan protes yang telah berlangsung selama beberapa hari di Amerika Serikat.
Ini menimbulkan kekhawatiran berjamurnya virus corona di antara polisi dan para demonstran, khususnya komunitas Afrika-Amerika.
"Ini adalah hal terburuk yang mungkin terjadi," kata Dr Howard Markel, direktur Pusat Sejarah Kedokteran di Universitas Michigan dan pakar pandemi.
"Sulit untuk mengetahui berapa banyak dari orang-orang itu yang merupakan pembawa tanpa gejala, dan itu benar-benar menakutkan," tambahnya, dikutip dari The Guardian.
Banyak faktor berkontribusi dalam penyebaran virus corona saat melakukan demonstrasi.
Baca: Pesan Dukungan Obama untuk Para Demonstran Tuntut Keadilan George Floyd di AS
Baca: Dakwaan Polisi yang Menindih George Floyd Ditingkatkan, Tiga Lainnya Dituduh Bersekongkol
Antara lain tidak adanya jarak sosial, keterbatasan masker, dan polisi yang menggunakan gas air mata, serta penangkapan.
Di saat yang sama, ancaman infeksi tidak akan menghalangi para demonstran untuk menyuarakan keadilan bagi George Floyd dan komunitas kulit hitam.
Dalam beberapa kasus, pria kulit hitam yang dibunuh polisi memiliki penyakit menular serius.
"Protes menyelamatkan jiwa orang kulit hitam di negara ini," kata Dr Rhea Boyd, dokter anak dan master kesehatan masyarakat dalam kebijakan kesehatan minoritas.
"Meskipun berada di jalanan meningkatkan risiko Anda (terinfeksi Covid-19) kita semua tahu bahwa risiko memang ada," tambahnya.
Sementara ini Covid-19 telah membunuh lebih dari 100.000 orang Amerika hanya dalam beberapa bulan saja.
Nahasnya sebuah studi mengatakan satu dari 1.000 pria kulit hitam d Amerika diperkirakan akan meninggal karena kekerasan polisi semasa hidup.
Angka ini sama dengan tingkat kematian campak pada anak-anak.
Virus SARS-CoV-2 penyebab sakit Covid-19 merupakan penyakit yang serius.
Dibandingkan wabah corona sebelumnya, Covid-19 menyebar lebih mudah di antara orang-orang tanpa gejala atau asimptomatik.
Virus ini sangat menular, karena virus ini keluar dari saluran pernapasan bagian atas, yakni hidung dan mulut.
Meski tingkat kematian berbeda-beda setiap negara, namun risiko penularannya tetap tinggi.
Para pengunjuk rasa atau polisi yang berteriak dapat menyebarkan tetesan virus dimana masker hanya sebagai penghalang yang lemah.
Berpegangan tangan juga bisa menyebabkan penularan.
Aksi demonstrasi tidak memungkinkan dilakukan dengan jarak sosial.
Lalu ratusan, bahkan ribuan orang, akan menghirup udara di tempat yang sama sehingga pelacakan tidak mungkin dilakukan.
Protes juga telah menutup lokasi pengujian di beberapa kota dan negara bagian, termasuk di Los Angeles, Philadelphia dan Jacksonville, dan Florida.
Di saat yang sama, taktik polisi membubarkan massa dengan gas air mata dan semprotan merica justru bisa menjadi media penularan Covid-19.
Kedua alat pertahanan diri itu menyebabkan batuk tanpa henti.
Semprotan merica berbasis minyak menyebabkan air mata, lendir, dan air liur mengalir dari mata, hidung, dan mulut.
Para demonstran yang dipenjara juga berisiko terinfeksi, mengingat tingkat wabah berat ada di penjara.
Empat hari demonstrasi di Las Vegas memberikan contoh bagaimana penularan bisa terjadi di lapangan.
Baca: George Floyd Rupanya Sudah Dinyatakan Positif Virus Corona Sejak April, Terungkap dari Hasil Autopsi
Baca: Aziz Syamsuddin Prihatin Peristiwa Kematian George Floyd di AS
Pengadilan setempat meminta polisi membebaskan orang-orang yang dituduh melakukan pelanggaran ringan.
Pengadilan meminta hal ini dengan dalih mengurangi risiko penyebaran Covid-19.
Sebaliknya polisi Las Vegas malah menangkap setidaknya 338 orang selama demonstrasi.
Mereka juga menggunakan gas air mata dan semprotan merica untuk membubarkan massa.
Di sisi lain, wabah corona telah membunuh komunitas Afrika-Amerika lebih banyak daripada kulit putih.
Hal ini disebabkan kesenjangan yang terjadi diantara warga Afrika-Amerika dengan orang kulit putih.
Warga Amerika berkulit hitam kecil kemungkinan membayar cuti sakit, lebih banyak hidup tanpa fasilitas kesehatan yang memadahi, dan sebagian besar pekerja penting yang tidak bisa bekerja dari rumah.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)