TRIBUNNEWS.COM - Seorang gadis di Afghanistan dipuji atas keberaniannya karena telah menembak 2 militan Taliban yang menyerang rumahnya dan membunuh kedua orang tuanya.
Seperti yang dilansir ABC, minggu lalu, sekitar 40 militan menyerbu Desa Geriveh, Provinsi Ghor, tempat di mana Qamar Gul (15) tinggal bersama adik dan juga orang tuanya.
Pasukan Taliban itu datang ke rumah Qamar Gul karena ayahnya mengeluhkan soal Taliban yang meminta pembayaran pajak, ungkap Abdul-Hamid Nateqi, anggota dewan Provinsi Ghor, kepada ABC.
Militan itu memukuli orang tua Qamar Gul sebelum menembak keduanya hingga tewas.
Gul kemudian mengambil senapan AK-47 ayahnya dan melepaskan tembakan ke arah militan itu, menewaskan dua penyerang dan melukai satu orang, kata Nateqi.
Baca: Rusia Dituding Tawarkan Hadiah pada Taliban untuk Bunuh Pasukan AS di Afghanistan
Baca: Afghanistan akan Bebaskan 900 Tahanan Taliban, Gencatan Senjata Mungkin Diperpanjang
Laporan lokal mengatakan, Gul dan adik laki-lakinya terus terlibat perkelahian dengan Taliban lain sebelum akhirnya penduduk desa datang untuk mengambil senjata dan mengusir para penyerang itu dari desa.
Kemudian, foto Qamar Gul yang memegang senapan AK-47 viral di media sosial.
Netizen memuji keberaniannya.
Juru bicara kementerian dalam negeri, Tariq Arian bahkan menyebut Qamar Gul sebagai pahlawan dalam sebuah postingan di Twitter.
Ia juga menambahkan, Pemerintah Afghanistan memuji keberaniannya.
Setelah insiden itu Qamar Gul dan adiknya telah dipindahkan ke daerah yang lebih aman di bawah perlindungan pemerintah, kata Nateqi kepada ABC.
Nateqi mengatakan, orang tua mereka telah diancam dan dipukuli oleh Taliban sebelumnya.
"Jangan Lepaskan Taliban"
Masih dilansir ABC, bentrokan antara pasukan keamanan Afghanistan dan Taliban telah meningkat ketika AS menarik pasukan keluar dari Afghanistan di tengah upaya untuk mendorong pembicaraan damai dengan kelompok militan.
Banyak warga Afghanistan menggunakan media sosial untuk mengingatkan kekuatan asing atas kejahatan yang dilakukan oleh Taliban di daerah-daerah yang berada di bawah kendali mereka.
Laporan tentang dugaan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dengan frasa hashtag dalam bahasa Dari yang berarti "Jangan Lepaskan Taliban" telah dibagikan lebih dari 100.000 kali di Twitter.
Baca: Taliban Bantah Langgar Perjanjian Damai Amerika
Baca: Rayakan Idulfitri, Kelompok Taliban dan Pasukan Afganistan Gencatan Senjata Selama 3 Hari
Pengguna Twitter yang berbasis di Kabul, Ejaz Malikzada (26) mengatakan, pesan itu menjadi perhatian ketika pengguna media sosial Afghanistan berusaha untuk mengingatkan para pemain kunci dalam pembicaraan damai untuk tidak mengorbankan pencapaian hak asasi manusia yang dibuat dalam dua dekade terakhir.
"Dengan berpartisipasi dalam hashtag ini saya ingin memberi tahu orang asing yang bersikeras memulai pembicaraan damai di Afghanistan, mereka telah mengabaikan atau melupakan kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh Taliban terhadap rakyat Afghanistan," katanya.
Serangan Taliban telah menewaskan ribuan warga sipil di seluruh negara itu sejak kelompok itu digulingkan dari kekuasaan dalam invasi pimpinan AS pada tahun 2001.
Taliban mengklaim bertanggung jawab atas sejumlah serangan bulan ini, yang paling baru minggu lalu, ketika sebuah bom mobil meledak di kompleks pemerintah.
Selama pemerintahan mereka tahun 1996-2001, Taliban menegakkan interpretasi ketat terhadap hukum Islam, di mana perempuan dilarang mendapatkan pendidikan dan tidak diizinkan meninggalkan rumah tanpa saudara laki-laki.
Taliban mengatakan mereka telah mengubah pendekatannya terhadap hak-hak perempuan, dan operasi oleh pemerintah dan pasukan asing juga telah membunuh banyak warga sipil.
Namun banyak warga Afghanistan dan aktivis hak asasi manusia tetap skeptis.
Mereka menyatakan keprihatinan, pembicaraan damai yang akan ditengahi AS, yang bertujuan untuk mengakhiri lebih dari 18 tahun perang, tidak akan mencakup perlindungan hak asasi manusia yang memadai jika kelompok pemberontak kembali berkuasa.
Juru bicara Taliban Suhail Shaheen mengatakan bahwa ia curiga kampanye media sosial itu disebabkan "elemen anti-perdamaian" dan "tidak ada hak yang sah yang akan hilang" selama pembicaraan damai.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)